Minggu, 15 Juni 2008

Sastra yang Menjelajah “Dunia” Tuhan


Judul Buku: Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas
Penulis: Abdul Hadi W. M.
Penerbit: Mahatari, Yogyakarta
Tahun Terbit: Cetakan I, Agustus 2004
Tebal: viii + 307 halaman (termasuk indeks)
Peresensi: M. Haninul Fuad*)

Sastra transendental yang sempat “heboh” pada tahun 70-an, kini mulai jarang dibicarakan orang. Sastrawan sendiri, mulai tampak acuh bahkan melupakan “spesies” sastra yang sempat menjadi primadona dengan segala ekstase, kerinduan, juga cinta pada Tuhan sebagai “objek” sastra transendental.
Fenomena ini dapat dipandang sebagai bentuk kekalahan bersaing sastra transendental dengan sastra kelamin yang saat ini sedang menuju puncak (meminjam istilah AFI Indosiar). Dalam dunia yang serba kapitalistis seperti saat ini, “barang dagang” (sastra) akan menjadi komoditas utama mana kala barang tersebut memiliki banyak permintaan dari konsumen. Faktanya, sastra kelamin (sastra yang mengusung seksualitas) kini sedang digandrungi banyak orang. Polemik bermunculan tidak hanya di media-media nasional. Media yang sifatnya terbatas seperti buletin dan selebaran juga ramai memperbincangkannya. Tidak salah kemudian jika kita berkesimpulan bahwa sastra kelamin sedang naik daun, sementara sastra transendental yang kelihatannya berbeda jenis “kelamin” mulai di acuhkan oleh sastrawan.
Abdul Hadi Widji Muthari atau lebih di kenal dengan Abdul Hadi W. M. Adalah salah satu aktor angkatan 70-an. Track record-nya pada sastra transendental tidak dapat disangsikan begitu saja. Ulasannya terhadap karya Hamzah Fansuri (sastrawan Indonesia), dan sastrawan-sastrawan lain seperti Mohammad Iqbal, Jalaluddin Rumi, Fariduddin Attar, dan yang lain, memperkaya khasanah kesusastraan Indonesia. Lebih khusus, jasa Abdul Hadi ini memperkokoh berdirinya pilar sastra transendental.
Sebagai sastrawan yang juga akademisi, sastrawan kelahiran Madura ini, tampak memiliki perangkat apresiasi yang lengkap terhadap karya sastra khususnya sastra transendental. Hanya saja, produk tulisannya dalam buku “Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas: Esai-esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa” bergaya ilmiah. Untuk dapat dengan sukses membacanya pembaca dituntut untuk menguasai buku induk yang menjadi rujukan penulis. Paling tidak, pembaca minimal tahu dengan tokoh-tokoh yang dibicarakan sekaligus buah karyanya. Hal ini menjadi kelemahan mendasar dari buku ini mana kala jatuh pada pembaca yang belum banyak tahu tentang karya sastra. Dan, menjadi sesuatu yang berlawanan ketika dipegang oleh sastrawan yang sudah banyak makan garam dalam lingkup sastra transendental. Bagi mereka, buku ini dapat mengobati dahaga akan sastra transendental.
Tokoh angkatan 70-an yang lain, Kuntowijo, dalam makalahnya pada temu sastrawan 1982 di Taman Ismail Marzuki (TIM) mengatakan, “Saya kira kita memerlukan juga sebuah sastra transendental. Oleh karena tampak aktualitas tidak dicetak oleh ruh kita, tetapi dikemas oleh pabrik, birokrasi, kelas sosial dan kekuasaan, maka kita tidak menemukan wajah kita yang otentik. Kita terikat pada yang semata-mata konkrit dan empiris yang dapat ditangkap oleh indra kita. Kesaksian kita kepada aktualitas dan sastra adalah kesaksian lahiriah- jadi sangat terbatas. Maka pertama-tama kita harus membebaskan diri dari aktualitas, dan kedua, membebaskan diri dari peralatan inderawi”.
Dari pernyataan Kuntowijoyo di atas, tercermin betapa pentingnya sastra transendental atau unsur transendensi itu sendiri bagi kehidupan manusia. Hidup di zaman yang serba modern seperti saat ini, orang lebih condong pada akal dan pikiran dalam menyelesaikan soal-soal kehidupannya. Apakah sastra transendental mengabaikan akal? Ternyata justru tidak. Syah Nikmatullah Wali, seorang sastrawan sufi, menerangkan bahwa akal dan cinta merupakan dua sayap dari burung yang sama, yaitu jiwa. Katanya:
Akal dipakai untuk memahami
Keadaan manusia selaku hamba-Nya
Cinta untuk mencapai kesaksian
Bahwa Tuhan itu satu
Pernyataan ini jelas menunjukkan bahwa sastra transendental tidak memandang sebelah mata akan eksistensi akal (halaman 138).
Dalam sastra transendental sendiri, Hadi melihat kelemahan yang sangat mendasar: “gersangnya” teori sastra yang berkembang dalam tradisi atau istiadat Islam. Selama ini, karya sastrawan muslim baik yang lama maupun yang baru, dikaji dengan menggunakan kaidah barat. “Teori-teori tersebut bukan tidak baik, tetapi sudah pasti didasarkan pada pandangan hidup (worldview) yang berkembang dalam istiadat kecendikiawanan Barat” (halaman 61).
Sebagai akibat dari kelemahan tersebut, karya sastrawan muslim lebih banyak yang tersisih dan dianggap kuno. Yang kemudian, kaum muslim pada saat sekarang merasa asing dengan karya-karya tersebut. Masyarakat Islam lebih mengenal Chairil Anwar daripada Hamzah Fansuri. Kita bisa saja berdalih hal ini dikarenakan perbedaan waktu antara Chairil dan Hamzah Fansuri. Tetapi, bukankah karya (sastra) yang baik adalah yang tetap hidup sepanjang zaman?
Sebenarnya, sastra transendental, sastra yang menjelajah dunia Tuhan, memiliki kans yang sangat besar dalam merebut hati manusia. Segala pertanyaan yang tidak terjawab oleh sains (akal) sebagian besar jawabannya ada pada daerah transendental. Karena manusia butuh jawaban ini, mau tidak mau, se-ateis apapun manusia itu akan lari menuju Tuhan.
Penerbitan buku “Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas” oleh penerbit Mahatari pada masa sastra kelamin seperti saat ini dapat dipandang sebagai langkah yang berani. Semua ini tidak terlepas dari upaya pelestarian sastra transendental yang sudah mulai menjadi “barang antik”.

*) M. Haninul Fuad adalah Finalis Lomba Mengulas Karya Sastra (LMKS) 2004

Tidak ada komentar: