Rabu, 18 Juni 2008

Merajut Hubungan Sains-Agama

Judul Buku: Membaca Alam membaca Ayat
Penulis: Bruno Guiderdoni
Penerbit: Mizan, Bandung
Tahun Terbit: Cetakan I, Agustus 2004
Tebal: 208 halaman (termasuk indeks)
Peresensi: M. Haninul Fuad

Madilog, singkatan dari Materialisme Dialektika Logika, merupakan karya terbesar pemikir Indonesia Tan Malaka. Nama Tan Malaka sendiri ikut terpendam bersama pemikiran-pemikiran marxis lainnya. Memang, Indonesia terutama masa orde baru (Orba) mengharamkan ideologi komunis untuk tumbuh di gembur subur sawah nusantara. Sejatinya tidak hanya ideologi komunis, pemasungan juga terjadi dalam hal proses berfikir. Orba seperti seperti sebuah agama yang mengharamkan ijtihad. Makanya kenapa, hanya ada lima agama yang diakui oleh pemerintah waktu itu. Lainnya tidak! Termasuk agama asli produk Indonesia (animisme, dinamisme, dan demonology) yang tidak termasuk dalam lima agama negara juga tidak diakui dan dihambat perkembangannya.

Pembahasan tentang agama, Tan Malaka memulainya dari masalah kepercayaan yang didefinisikan sebagai paham yang tidak beralaskan kebendaan. Dengan kata lain, kepercayaan adalah paham yang tidak berdasarkan benda, yang bisa dialami atau bisa dipikirkan kemungkinan diperalaminya. Paham yang bertolak belakang dengan kepercayaan adalah sains. Ilmu pengetahuan (sains) merupakan paham yang berdasarkan barang, perkara, atau kejadian yang bisa diamati atau setidaknya masuk diakal.
Paham nenek moyang Indonesia (animisme, dinamisme, dan demonology) yang tidak dianggap sebagai agama oleh Orba, oleh Tan Malaka justru disejajarkan dengan agama-agama lain yang di Indonesia ada lima yaitu: Islam; Kristen; Katolik; Hindu; dan Budha, yang kemudian setelah Orba tumbang jumlah agama tersebut mengalami pertambahan. Tan Malaka memandang, dalama masalah ini hanya ada dua zenit (kutub) yaitu kepercayaan dan ilmu pengetahuan.

Ada teks yang menarik dalam Madilog dan merupakan pandangan orisinil penulisnya, teks itu berbicara tentang agama. “Selama alam ada dan selama alam raya itu ada, selama itu pula hukum alam raya berlaku. Berhubung dengan ini maka yang Maha Kuasa, jiwa yang terpisah dari jasmani, surga atau neraka, berada diluar alam raya, berada diluar madilog dan tidak dikenali dalam ilmu pengetahuan. Semua itu jatuh pada daerah kepercayaan semata-mata. Ada atau tidaknya hal itu, berpulang pada kecondongan perasaan masing-masing orang.” (Madilog, halaman 392).

Disini, wacana agama akal yang diusung oleh sebagian agama yang salah satunya adalah Islam, ditolak mentah-mentah oleh Madilog. Logika Madilog yang menggunakan logika dua dimensi (logika hitam putih), secara tegas membedakan agama dengan akal. Agama hanya terkait dengan perasaan dan intensitas kepercayaan terhadap setiap dogma yang ada di dalamnya.

Ditengah hubungan sains dan agama yang makin memburuk, diperparah lagi oleh serangan kaum sekuleris, Bruno Guderdoni, seorang direktur riset Institut Astrofisika Paris, sekaligus sebagai direktur Institut Islam untuk studi-studi lanjut Perancis, mencoba merajut hubungan sains dan agama, atau menurut istilah Guiderdoni, “mistisme islam”.
Guiderdoni memberikan beberapa definisi tentang agama dan sains. Misalnya, sains menjawab pertanyaan “bagaimana”, sedangkan agama pertanyaan “bagaimana”; sains berurusan dengan “fakta”, sedang agama berurusan dengan “nilai”; sains mendekati realitas secara analitis, sedang agama secara sintesis. Akar kata latin dari science dan religion berturut-turut adalah “memotong” dan “menyambung”. Tetapi, Guiderdoni tidak begitu puas dengan definisi ini (halaman 41). Perbedaan antara agama dan sains terletak pada isu penyelamatan. Sains merupakan upaya manusia untuk memahami alam semesta, sedang agama adalah pesan yang diberikan Tuhan untuk membantu manusia mengenal Tuhan dan mempersiapkan manusia untuk menghadap Tuhan.

Berbeda dengan Tan Malaka yang cenderung memisahkan (secara radikal) agama dengan sains, Guiderdoni justru memandang agama dan sains sebagai satu kesatuan yang terkait erat. Agama yang selalu mendorong pencarian pengetahuan, terutama pengetahuan tentang dunia, yang diciptakan oleh Tuhan untuk manusia, menekankan pada manusia untuk membaca ayat-ayat Tuhan di mana-mana. Ketertataan alam semesta secara cermat, menurut Guiderdoni, sangat naif jika disebut sebagai sebuah kebetulan. Pada akhirnya, manusia akan menuju pada kausalitas final, bahwa semua yang ada di dunia ini adalah kehendak Tuhan.

“Aktivitas saintifik (ilmiah) adalah cara beribadah kepada Tuhan bagi mereka yang menjalani pencarian relijius” (halaman 43). Dari sini, muncullah “sains yang religius”. Wilayah aktivitas sains dan agama, yang dipisahkan oleh Tan Malaka, dan juga kaum sekuler lainnya, sebenarnya memiliki titik temu yang satu. Wilayah ini memang seharusnya tidak terpisah, tetapi keduanya harus dipandang sebagai ragam aktivitas yang berbeda.

Seorang astronom muslim yang merenungkan langit akan mengagumi ciptaan Tuhan. Dia harus menggunakan nalar yang dianugerahkan oleh Tuhan kepadanya untuk menyembah Allah, dan memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Di luar itu, ia harus melakukan ritual keagamaan sesuai dengan apa yang telah diwahyukan oleh Allah.
Buku ini terasa kaya dengan masalah kosmologi modern yang “dikawinkan” oleh penulisnya, dengan mistisme Islam. Terkait masalah keimanan, kiranya buku “Membaca Alam, Membaca Ayat” layak dijadikan referensi bagi kaum muslim. Seperti yang sudah saya sebut di depan, hal ini penting untuk menghadapi serangan kaum sekuler yang semakin gencar memisahkan nilai-nilai agama (syari’at) dengan kehidupan manusia. Yang pada ujungnya, kaum sekuler menginginkan ateisme global. Inilah yang harus diwaspadai oleh umat islam!

*) M. Haninul Fuad adalah pengulas buku, ketua kelompok diskusi KLC Malang

Tidak ada komentar: