Minggu, 15 Juni 2008

Indonesia dalam Bingkai Kecil Politik


Judul Buku : Merebut Hati Rakyat Melalui Nasionalisme, Demokrasi, dan Pembangunan Ekonomi
Penulis : Aburizal Bakrie
Penerbit : Primamedia Pustaka, Jakarta
Tahun Terbit : Cetakan I, November 2004
Tebal : ix + 365 halaman
Peresensi : M. Haninul Fuad*)

Aburizal Bakrie, atau biasa dipanggil Bung Ical, selama ini dikenal sebagai ekonom, dan juga pengusaha yang ulet. Sepak terjanggnya dalam bidang ekonomi memang sudah terbukti tangguh. Ini bisa kita lihat dari kepiawaiannya menjalankan kelompok usaha “Bakrie”. Menghadapi gelombang krisis moneter yang kemudian meluas menjadi krisis ekonomi dan krisis-krisis lainnya, kelompok usaha “Bakrie” mampu bertahan bahkan melejit, melesat meninggalkan kelompok usaha lain yang merangkak dalam gerusan krisis. Semua ini tidak lepas dari campur tangan Bung Ical. Namun, bagaimana jadinya kalau Bung Ical yang ekonom sekaligus politikus dari partai golkar itu menuangkan ide-ide segarnya dalam bentuk buku?
Buku “Merebut Hati Rakyat Melalui Nasionalisme, Demokrasi, dan Pembangunan Ekonomi” (MHR) merupakan bunga rampai pemikiran Bung Ical yang terdiri atas 47 esai yang sebagian besar pernah disampaikan dalam seminar-seminar di dalam negeri. Tulisan dalam buku ini, sebagian juga merupakan “rekomendasi” Bung Ical kepada partai Golkar dalam merebut hati rakyat pada even pesta demokrasi (pemilu) yang diselenggarakan di negeri ini. Hal ini bisa dimaklumi, karena penulis buku ini yang sekarang menjadi menteri ekonomi kabinet “Indonesia Bersatu” adalah kader partai berlambang pohon beringin tersebut.
Dipandang dengan pikiran positif, gagasan penulis yang dituangkan dalam buku ini, tidak lagi menjadi “rekomendasi” untuk mendapatkan suara sebanyak-banyaknya pada partai tempat penulis melakukan aktivitas politiknya, melainkan menjadi semacam sumbangan pemikiran, urun rembug, atas kondisi bangsa yang terpuruk akibat krisis ekonomi.
Namun begitu, karena buku ini sebagian berisi esai pada acara intern partai, acara peningkatan kualitas kader partai misalnya, akhirnya membawa buku ini pada “bingkai” kecil politik dalam memandang Indonesia yang begitu luas. Indikasi buku ini berbau politik, pertama terlihat pada judul yang lumayan “profokatif”: Merebut Hati Rakyat. Yang kedua, isi buku berupa tulisan yang diperuntukkan bagi acara intern sebuah partai. Dan, yang ketiga, kapasitas penulis yang merupakan kader partai. Semua ini menjadikan buku MHR dengan segala kelebihannya, menjadi sebuah “bingkai” kecil untuk potret Bangsa Indonesia.
Pada bagian pertama buku ini, “Globalisasi Ekonomi”, penulis mengangkat isu ekonomi yang sempat membuat sebagian masyarakat Indonesia ketakutan. Ketakutan pada globalisasi dan perdagangan bebas mungkin sangat beralasan. Kita tahu sebagian besar masyarakat Indonesia memiliki sumber daya manusia (SDM) yang kurang memadai untuk bersaing dengan masyarakat lain di dunia. Dari sinilah sumber ketakutan pada globalisasi tersebut, yang kemudian meluas menjadi gerakan anti globalisasi.
Bung Ical merupakan sosok yang pro-globalisasi. Ini bisa kita lihat dari pandangannya terhadap globalisasi, bahwa globalisasi bukanlah sebuah ancaman, melainkan sebuah peluang. “Globalization is not a threat, but an oportunity” (halaman 5). Kesadaran inilah yang mencipta energi bagi perubahan dalam bidang ekonomi. Ketakutan tidak bisa bersaing akan segera terkikis, karena yang datang (baca: globalisasi) adalah “sahabat” yang harus kita sambut dengan sebaik-baiknya.
Menghadapi arus globalisasi, satu hal yang tidak boleh terlupakan oleh setiap warga negara, bahwa sudah menjadi kewajiban bagi warga negara untuk memikirkan bagaimana nasib bangsanya ke depan dan bagaimana bangsanya bisa mengungguli bangsa-bangsa lain dalam segala aspek kehidupan (halaman 9). Dan, tampaknya pemikiran inilah yang menjadi landasan Bung Ical, menyambut baik globalisasi, khususnya dalam bidang ekonomi. Memanfaatkan persaingan mendunia untuk menunjukkan citra bangsa di hadapan bangsa-bangsa lain.
Untuk menjadi bangsa yang berdaya saing tinggi tentulah tidak mudah. Diperlukan program-program ekonomi yang jitu, yang bertumpu pada beberapa hal, yang pertama, kontinuitas kebijakan ekonomi makro yang stabil dan prudent (hati-hati). Yang kedua, perluasan basis perekonomian kita sebagai sistem yang terbuka terhadap dunia luar. Ketiga, pelembagaan hak-hak kepemilikan pribadi. Keempat, penegasan kembali akan perlunya peran negara dan pemerintah yang efektif dalam sistem perekonomian. Kelima, penciptaan kebijakan yang efektif untuk mendorong pemerataan ekonomi. Keenam, penajaman prioritas dan konsepsi sistem pendidikan. Dan yang ketujuh, perluasan daya dukung teknologi dalam proses kompetisi ekonomi (halaman 259).
Selain masalah globalisasi dan masa depan perekonomian, dalam buku ini dibicarakan juga masalah nasionalisme dan demokrasi. Isu otonomi daerah, jika dipandang dengan sebelah mata akan membawa kita pada kotak-kotak kecil kedaerahan. Dari sinilah wacana nasionalisme menjadi penting untuk disebarluaskan. Kita tahu, selain bangsa ini menderita “penyakit ekonomi” atau kemelaratan, Indonesia juga diterpa bencana perpecahan.
Menghadapi masalah perpecahan, langkah merumuskan kembali konsepsi ke-Indonesia-an harus segera kita lakukan. Dalam hal ini kita bisa belajar dari kearifan-kearifan masa lalu dari kaum pelopor gerakan kebangsaan kita dan memperkayanya dengan gagasan-gagasan baru yang muncul seiring dengan terjadinya berbagai perubahan dalam masyarakat (halaman 255).
Bagian akhir buku ini yang diberi judul “Humaniora” merupakan bagian yang lain dari badian-bagian sebelumnya. Bagian ini memuat dua tulisan, “Membangun Sebuah Tradisi” dan “History is Moved by Dreams, Hopes, and Ideas”. Pada bagian ini, Bung Ical memberikan tanda seru pada upaya menghargai gagasan. Salah satu bentuk dari upaya tersebut adalah dengan memberikan penghargaan bagi seseorang yang “menonjol” dalam hal intelektual.
Ada keterkaitan yang erat antara dunia gagasan dengan kemerdekaan yang sedang kita nikmati saat ini. Kemerdekaan yang dirintis oleh para pendiri republik kita bermula dari dunia gagasan. Kemerdekaan pada dasarnya adalah sebuah ide dan lewat perjuangan politik selama puluhan tahun kemudian diwujudkan menjadi kenyataan (halaman 352).
Secara keseluruhan, buku setebal 365 halaman ini memang membicarakan berbagai macam masalah bangsa. Tapi, kapasitas penulis sebagai seorang pengusaha dan ekonom tampak mendominasi buku ini. Solusi-solusi yang ditawarkan buku ini berangkat dari permasalahan ekonomi, yang mungkin menjadi perlu untuk disimak dan ditunggu realisasinya setelah penulis menduduki jabatan penting dalam pemerintahan sebagai menteri perekonomian. Selamat membaca dan menyelami pemikiran Bung Ical!

*) penulis adalah Penulis Lepas, sedang melanjutkan studi di Universitas Negeri Malang

1 komentar:

angga mengatakan...

mungkin aburizal benar untuk menjadi orang besar harus merebut hati rakyat termasuk dengan menghalalkan segala cara ;)