Minggu, 28 Desember 2008

Kemiskinan di Tengah Euforia Politik

Oleh: M. Haninul Fuad*)

Kemiskinan menjadi masalah yang sangat serius di negeri ini. Selain jumlahnya yang semakin meningkat, berlarut-larutnya masalah kemiskinan menimbulkan citra buruk bagi pemerintah. Seakan-akan pemerintah tidak serius menangani masalah ini. Padahal dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah mengalami amandemen jelas menyebutkan dalam pasal 34 ayat 1: Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara, serta ayat 2 yang berbunyi: Negara mengembangkan system jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Jika benar demikian, berarti presiden dan wakil presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat telah gagal menjalankan amanat rakyat.

Kekecewaan sudah pasti ada. Apalagi dulu sewaktu belum dipilih presiden dan wakil presiden berkampanye dengan menawarkan berbagai program kerja untuk kesejahteraan bersama dan janji-janji lain yang terdengar manis. Kondisi ini dapat menjadi pendidikan politik yang buruk bagi rakyat. Apalagi sampai menimbulkan trauma dan sikap apatis terhadap pemerintahan.

Dalam dunia politik, cara untuk menang seakan-akan menjadi tidak penting. Kalau memang harus mengumbar janji atau bahkan misalnya harus membagi-bagikan uang atau yang sering kita sebut money politic, semua akan dilakukan. Menyongsong pemilu pada 2009 dan pilkada di beberapa daerah banyak oknum yang mencuri start untuk berkampanye. Caranya bermacam-macam, ada yang memanfaatkan media televisi, dengan memasang baliho dan poster besar-besar di pinggir jalan dan di tempat-tempat umum. Sehingga kemanapun mata memandang di situ terlihat wajah-wajah yang tersenyum atau mungkin juga tertawa yang tertahan. Saya curiga dengan senyuman mereka. Jangan-jangan mereka sedang menertawakan rakyat yang sebagian besar hidup di bawah garis kemiskinan.

Sebenarnya, kalau memang mau mencuri start untuk kampanye ada cara yang lebih elegan dan berkemanusiaan. Desas desus tentang seorang pemimpin parpol besar yang menghabiskan dana hampir 300 milyar hanya untuk memasang iklan di televisi dan nampang di pinggir-pinggir jalan hanya membuat luka di hati rakyat miskin. Di tengah kemiskinan yang kian mencekik dengan adanya kenaikan harga BBM yang disusul dengan kenaikan bahan pangan, uang 300 milyar bukanlah jumlah yang sedikit. Dana sebesar itu sebenarnya bisa kita manfaatkan untuk membantu usaha kecil dan menciptakan lapangan pekerjaan baru. Seandainya dalam pemilu tidak terpilih tentu tidak akan merasarugi. Dari sisi kemanusiaan jelas cara ini lebih bermartabat.

Entah ada unsur kesengajaan atau tidak, dalam dunia politik kemiskinan justru menjadi komoditas yang layak untuk dijual. Program-program pengentasan kemiskinan menjadi program wajib untuk menarik simpati rakyat. Kenyataannya kan berubah 180 derajat ketika sudah benar-benar terpilih. Janji tinggallah janji kata lirik sebuah lagu. Rakyat miskin tetap tertindas, bahkan kebijakan pemerintah sering mengabaikan nasib rakyat miskin.

Kemiskinan memang sudah menjadi masalah yang klasik di negeri ini. Pada orde yang lalu kita sempat menjadi bangsa swasembada beras. Entah itu hanya simbolisasasi dari ketidakmampuan kita atau memang benar demikian, yang jelas ada rasa bangga waktu itu. Di tengah-tengah kondisi sulit dan naiknya harga bahan pangan pokok akibat dicabutnya subsidi bahan bakar minyak (BBM) seperti sekarang ini pemerintah bukannya membesarkan hati rakyat dan menumbuhkan semangat bahwa kita bisa mengahadapi kondisi sulit ini justru melemahkan daya juang rakyat dengan memberikan santunan berupa bantuan langsung tunai (BLT).

Ada indikasi bahwa BLT yang diberikan oleh pemerintah sarat dengan muatan politis. Program lain yang serupa dengan BLT adalah BKM yaitu bantuan khusus mahasiswa yang diperuntukkan bagi mahasiswa tidak mampu. Lagi-lagi pemerintah memanfaatkan kemiskinan untuk menarik simpati rakyat dan mengalihkan perhatian atas kesalahan mencabut subsidi BBM.

Sebagian orang menilai bahwa BKM hanya alat pemerintah untuk meredam demo mahasiswa yang menentang kenaikan BBM. Terlepas benar atau salah penilaian tersebut rupanya pemerintah telah salah dalam menilai kemiskinan. Logika sederhana jika orangtua mampu memasukkan anaknya ke perguruan tinggi untuk menyandang status mahasiswa sudah tentu orangtua tersebut memiliki kemampuan ekonomi yang mungkin sedikit lebih baik ketimbang orangtua yang anaknya putus sekolah sampai tingkat SMP untuk membantu orangtuanya bekerja mencukupi kebutuhan hidup tiap hari.

Ada beberapa kekhawatiran yang ingin saya ajukan pada tulisan ini, jika memang benar kemiskinan adalah senjata politik yang paling ampuh tentu kemiskinan tidak akan pernah berakhir mendera rakyat kita. Yang kedua, pendidikan politik yang buruk akan menimbulkan trauma bagi rakyat yang pada akhirnya akan menumbuhkan sikap apatis terhadap pemerintahan. Dalam kondisi ini, pemerintah akan mengalami kesulitan dalam menjalankan rada pemerintahan. Peraturan-peraturan yang dikeluarkan akan dianggap angina lalu oleh masyarakat. Sesuatu yang mengerikan akan benar-benar terjadi. Indonesia akan menjadi Negara yang tetap miskin, tidak dihormati di mata masyarakat dunia karena masyarakatnya sendiri tidak menghargai pemimpinnya yang terlalu banyak mengumbar janji.

*) M. Haninul Fuad adalah penulis lepas, sedang melanjutkan studi di Univesitas Negeri Malang

Senin, 01 Desember 2008

Memoar Sang “Pahlawan Baru”


Judul Buku : Pertempuran 10 November 1945: Kesaksian dan Pengalaman Seorang
Aktor Sejarah
Penulis : Sutomo (Bung Tomo)
Penerbit : Visimedia, Jakarta
Tahun Terbit : Cetakan II, November 2008
Tebal : xiv + 164
Peresensi : M. Haninul Fuad

“ …, selama banteng-banteng Indonesia masih mempoenjai darah merah jang dapat membikin setjarik kain poetih menjadi merah dan poetih, maka selama itoe tidak akan kita maoe menjerah kepada siapapoen djuga!”
Begitulah bunyi kutipan pidato Sutomo (Bung Tomo) menjelang pertempuran 10 November di Surabaya. Banyak kalangan menilai karena pidato Bung Tomo lah semangat arek-arek Suroboyo, semangat pemuda-pemuda Indonesia bangkit mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Indonesia yang baru saja diplokamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Pertempuran yang heroik itu kemudian kita peringati sebagai hari pahlawan. Namun sayangnya sang aktor sejarah, Bung Tomo, baru ditetapkan menjadi pahlawan nasional oleh pemerintah pada bulan November 2008. Waktu yang cukup lama untuk bangsa yang ingin menghargai jasa para pahlawannya.
Saat ingatan kita melayang pada pertempuran yang sangat heroik di Surabaya 10 November 1945 kita akan mendengar dengan jelas betapa semangat yang dikobarkan oleh Bung Tomo membahana di seantero negeri. Teriakan takbir disambut dengan derap langkah maju oleh para pejuang muda waktu itu. Negeri yang baru merdeka menunjukkan eksistensinya sebagai bangsa dan negara yang berdaulat dan anti penjajahan.
Sejarah mencatat bangsa Indonesia dijajah oleh dua negara pada dua masa yang berbeda. Belanda menjajah kuranglebih tiga setengah abad, sedangkan Jepang menjajah Indonesia “seumur jagung”. Bagi Bung Tomo, Indonesia mengalami tiga masa penjajahan, yang pertama dijajah Belanda yang kemudian disusul Jepang dan dilanjutkan “dijajah” oleh cukong-cukong Cina yang barangkali tanpa kita sadari masa penjajahan yang dimaksud Bung Tomo tersebut berlanjut samapai sekarang.
Buku “Pertempuran 10 November 1945: Kesaksian dan Pengalaman Seorang Aktor Sejarah” merupakan kumpulan benang-benang kusam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Rasa haru, jiwa yang bergelora, dan rasa geli bercampur menjadi satu dalam buku ini. Betapa tidak, Bung Tomo mencatat kejenakaan pejuang kita yang tidak tahu cara menggunakan granat tangan. Begitu granat tangan dilempar oleh pejuang-pejuang kita ke arah musuh tanpa mencabut kawat penguncinya, granat-granat itu dilempar kembali dan meledak mengenai pejuang-pejuang kita (hal. 130-131).
Catatan-catatan Bung Tomo menjadi bukti sejarah yang otentik bahwa kemerdekaan bukanlah hadiah dari penjajah. Kemerdekaan adalah keinginan para pemuda. Kemerdekaan adalah cita-cita bangsa Indonesia yang diperjuangkan dengan sungguh-sungguh. Diperjuangkan dengan pertumpahan darah. Dari sinilah buku ini memberi inspirasi bagi generasi penerus terutama para pelajar untuk lebih bersemangat mengisi kemerdekaan yang telah diperjuangkan dengan pertaruhan nyawa pejuang kita, dengan semboyan yang tidak mungkin kita lupakan “merdeka atau mati”.
Sebagai pelaku sejarah yang berkesempatan menikmati kemerdekaan, sebagai seorang pejuang sejati yang jauh dari pamrih, Bung Tomo pernah “menolak” sebuah penghargaan atas jasa-jasanya memperjuangkan kemerdekaan. Bung Tomo lebih memilih diberikan tugas untuk membebaskan Irian Barat sebelum menerima anugerah Satya Lencana. Kedengarannya memang aneh untuk masa-masa sekarang yang sebagian besar orang memilih sikap hidup pragmatis. Bagi Bung Tomo, seruan-seruannya yang mengantarkan ribuan pemuda menjemput ajalnya mesti dipertanggungjawabkan. Tidak sampai hati rasanya Bung Tomo menerima anugerah sementara para pejuang banyak yang mati muda, tidak sempat menikmati kemerdekaan yang dicita-citakan.
Penerbitan karya Bung Tomo ini merupakan ikhtiar yang luar biasa untuk membangun kembali nasionalisme pemuda kita yang mulai luntur oleh fasilitas kemerdekaan yang semakin menggila. Bayangkan saja, pelajar-pelajar kita banyak yang memilih bermain play station daripada mingikuti upacara bendera pada hari Senin! Olehkarenanya, buku yang berisi memoar perjuangan bangsa indonesia di awal-awal kemerdekaan menjadi penting untuk menjadi bahan kajian di sekolah-sekolah yang notabenenya adalah tempat penggemblengan generasi penerus bangsa.
Buku “Pertempuran 10 November 1945: Kesaksian dan Pengalaman Seorang Aktor Sejarah” tidak termasuk buku sejarah, melainkan sumber sejarah. Data-data yang disuguhkan menjadi sumber sejarah sekunder yang utama. Sekunder lebih dikarenakan yang ada dalam buku ini adalah salinan dari apa yang ditulis oleh Bung Tomo sebagai pelaku sejarah. Namun tingkat keotentikannya tidak usah diragukan lagi.
Membaca buku ini seperti menyelam dalam kedalaman pemikiran seorang pahlawan yang gigih memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Gaya reportase Bung Tomo yang juga seorang wartawan menjadikan deskripsinya hidup. Pembaca seakan dibawa pada suasana membaca novel atau kumpulan cerita pendek tanpa harus terbebani mengingat tanggal dan kronologis kejadian sejarah. Sebagai bahan bacaan, selain menawarkan hiburan, tentu saja buku ini menjadi sumber inspirasi bagi bangsa Indonesia untuk melanjutkan perjuangan dengan mengisi kemerdekaan, bukan menikmati kemerdekaan! Selamat membaca!

M. Haninul Fuad adalah Penggiat Taman Baca

Selasa, 11 November 2008

Strategi Melejitkan Lembaga Pendidikan


Judul Buku: Manajemen Humas di Lembaga Pendidikan
Penulis: Zulkarnain Nasution
Penerbit: UMM Press
Tahun Terbit: Cetakan I, Pebruari 2008
Tebal: x + 222 halaman
Peresensi: M. Haninul Fuad*)

Di tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat, mau tidak mau lembaga pendidikan harus menempatkan dirinya secara tepat. Jika tidak, lembaga tersebut akan terseret arus globalisasi dan kemudian secara perlahan akan ditinggalkan orang.
Berita tentang lembaga pendidikan yang gulung tikar akibat ditinggalkan oleh siswanya bukan sekedar isapan jempol. Dengan banyaknya lembaga pendidikan dengan karakteristik yang bermacam macam, lembaga pendidikan akan terbawa pada suatu keadaan yang tunduk pada hukum pasar yaitu suplay (penawaran), demmand (permintaan) dan perhitungan laba-rugi. Ini berarti jika lembaga pendidikan tidak mampu memenuhi permintaan pasar sedang keberlangsungan pendidikan di lembaga tersebut memerlukan biaya yang tidak sedikit maka lembaga tersebut akan pailit alias gulung tikar.
Karena yang berbicara adalah hukum pasar, lembaga pendidikan harus benar-benar cerdik dalam membaca pasar. Termasuk juga strategi pemasaran dan pembangunan opini publik harus ampuh dan tepat sasaran. Di sinilah letak penting peran hubungan masyarakat (Humas) lembaga pendidikan. Dan, karena yang akan dipasarkan adalah jasa sebuah lembaga pendidikan maka diperlukan strategi khusus agar lembaga pendidikan tersebut tidak terjebak pada kapitalisme pendidikan.
Zulkarnain Nasution, seorang kepala Humas perguruan tinggi negeri dan sekaligus praktisi pendidikan (tenaga pendidik) mencoba menjawab permasalahan lembaga pendidikan tersebut lewat buku “Manajemen Humas di Lembaga Pendidikan: Konsep, Fenomena, dan Aplikasinya”.
Buku ini terbagi dalam 12 bagian yang meliputi: Peran lembaga pendidikan di era global, manajemen humas di lembaga pendidikan, fungsi dan peran humas di lembaga pendidikan, hubungan sekolah dengan masyarakat, prinsip humas dalam kepemimpinan sekolah di era otonomi pendidikan, peran humas dalam mengembangkan perguruan tinggi, reposisi struktur humas pada organisasi perguruan tinggi, jabatan pranata fungsional humas di lembaga pendidikan, merencanakan dan menyusun program kerja humas di lembaga pendidikan, teknik kegiatan humas membina hubungan dengan pers, media humas di lembaga pendidikan, mengenal hakekat keprotokolan di lembaga pendidikan.
Dalam pembahasan yang cukup penting, Zulkarnain mendeskripsikan fungsi humas di lembaga pendidikan antara lain: Mengembangkan pemahaman kepada masyarakat tentang maksud-maksud dan sasaran dari sekolah; Menjalin dan meningkatkan hubungan harmonis antara orang tua siswa dengan guru-guru dalam memenuhi kebutuhan anak didik; Membangun kesan positif dan kepercayaan terhadap sekolah; Menginformasikan kepada masyarakat tentang rencana program dan kegiatan sekolah; Aktif membangun kerjasama dengan instansi lain yang menunjang pendidikan di sekolah (halaman 40).
Yang tidak boleh dilupakan begitu saja oleh lembaga pendidikan adalah keberadaan media massa (pers). Kita bisa membangun citra –entah itu baik atau buruk- lewat media massa . Ibaratnya, pers adalah pisau bermata dua bagi lembaga pendidikan. Oleh karenanya seorang praktisi humas harus bisa memanfaatkan peluang sekaligus ancaman ini. Sekali saja salah dalam memperlakukan media massa maka akan terbangun citra buruk dalam lembaga tersebut. Yang pada akhirnya akan terbangun opini negatif di masyarakat.
Menghadapi permasalahan di atas, buku ini juga membahas bagaimana tata cara memperlakukan pers. Termasuk di dalamnya bagaimana menulis berita, pers release, siaran pers atau konferensi pers yang diulas melalui langkah-langkah yang sangat praktis dan aplikatif. Konsep-konsep dalam buku ini juga tidak terlalu muluk-muluk. Sebagai akibatnya, buku ini menjadi enak untuk diikuti oleh praktisi humas di lembaga pendidikan baik pendidikan dasar, menengah, atau pendidikan tinggi.
Ada banyak peluang yang belum dipahami oleh praktisi humas di lembaga pendidikan. Buku ini seperti melakukan proses penyadaran terhadap peluang-peluang tersebut dan yang pada akhirnya mendorong praktisi humas untuk melejitkan lembaga pendidikan di mana ia bekerja untuk menjadi terdepan di jajarannya. Selain melakukan penyadaran terhadap peluang, buku ini juga memberikan semacam inspirasi untuk lebih mengoptimalkan kerja humas sebagai mediator antara masyarakat dengan lembaga pendidikan. Di sinilah sejatinya letak penting keberadaan buku ini.

*) M. Haninul Fuad adalah penggiat Taman Baca Pakis Malang

Jumat, 27 Juni 2008

Jurus Ampuh Agar Siswa Pintar Menulis Resensi

Oleh: M. Haninul Fuad*)

Sesungguhnya, kegiatan menulis resensi bagi siswa merupakan cara yang ampuh untuk belajar menulis (mengarang) dan mengakrabi dunia sastra. Siswa akan terbebas dari sindrom hapal teori dan tidak tahu bagaimana mempraktekannya. Karena teori adalah alat, bukan obyek. Dengan hafal teori dan tidak tahu penerapannya berarti kita telah mengeksplorasi alat. Padahal, yang harus kita eksplorasi dan kita gali lebih dalam adalah obyek. Hanya ada tiga jurus di dunia ini yang paling ampuh agar siswa pandai menulis resensi. Yang pertama, membaca. Yang kedua, membaca. Dan yang ketiga, membaca. Jadi, selamat membaca!


Siapa bilang menulis itu sulit? Buktinya, setiap hari kita selalu menulis. Menulis pelajaran di sekolah, menulis pesan untuk ayah dan ibu ketika kita meninggalkan rumah, menulis daftar belanjaan yang dipesankan ibu, menulis surat untuk teman dekat kita di sekolah, menulis…, menulis…., dan menulis. Intinya, kita tidak dapat terlepas dari kegiatan menulis setiap hari. Lalu, kenapa kita selalu mengeluh tidak bisa ketika guru Bahasa dan Sastra Indonesia menugaskan untuk membaca kemudian membuat resensi buku?

Ada banyak hal mengapa menulis resensi menjadi begitu sulit. Pertama, kita terlanjur memvonis bahwa membaca buku itu pekerjaan yang membosankan. Kedua, kita terlanjur meyakinkan diri kita bahwa kita bukan seorang penulis. Ketiga, barangkali kita telah beranggapan bahwa menulis resensi adalah pekerjaan yang sia-sia dan tidak akan menghasilkan apa-apa. Dengan kata lain, kita belum tahu manfaat menulis resensi buku. Keempat, dan seterusnya, tentu masih banyak vonis-vonis pada diri kita yang membuat pekerjaan menulis resensi buku terasa berat dan membosankan.
Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, pertama-tama yang harus kita lakukan adalah membuang jauh-jauh anggapan-anggapan salah tersebut. Kita adalah penulis! Penulis bukan hanya orang yang tulisannya selalu nongol di halaman media massa nasional. Setiap orang yang menulis, apapun itu, dia adalah penulis. Kita tahu, asal kata “penulis” adalah “tulis” yang mendapat prefik “pe” yang kemudian artinya menjadi orang yang melakukan kerja menulis. Tidak ada batasan apa yang ditulis.
Keuntungan yang bisa kita dapat dari menulis resensi buku antara lain: (1) paling sedikit, dapat menggairahkan minat membaca kita sendiri, (2) menambah wawasan dan pengetahuan dari apa yang kit abaca; sekaligus juga dapat mengetahui dan memahami isi buku yang bersangkutan, (3) dapat mempertajam sikap kritis, (4) belajar dan sekaligus dalam rangka mempermahir menulis, (5) jika dikirim ke salah satu media massa dan beruntung dapat dimuat, maka dengan sendirinya tulisan kita akan dibaca orang yang pada gilirannya, orang pun akan mengenal nama kita, (6) sebagai akibat dari butir (5) maka kita pun akan memperoleh imbalan yang lumayan dari media massa yang bersangkutan, (7) menjalin hubungan baik dengan pengarang dan penerbitnya. Secara idealis, berdialog dan berbagi pengalaman dengan pembaca yang lain (Maman S. Mahayana: 2005).

Setelah mengetahui beberapa manfaat dari kegiatan menulis resensi, yang harus kita lakukan adalah menanamkan dalam-dalam pada diri kita bahwa menulis resensi adalah pekerjaan yang mudah. Karena resensi adalah salah satu jenis karya reproduksi. Artinya, dalam menulis resensi kita hanya memindahkan gagasan orang lain ke dalam tulisan kita dengan bahasa dan gaya ungkap kita sendiri.

Sebagai hasil reproduksi resensi harus disajikan lebih menarik. Penilaian kita terhadap ide orang lain yang kita reproduksi menjadi hal yang wajib agar resensi yang kita buat menjadi karya yang orisinil. Penafsiran terhadap buku yang kita baca dan kita buat resensinya, akan menuntun kita dalam menilai sebuah buku. Berangkat dari penafsiran kita menuju pada poin-poin penting tentang kelebihan dan kekurangan buku. Dengan begitu, orang yang membaca resensi tidak merasa membaca ringkasan atau resume buku.

Dari uraian tersebut di atas tersirat bahwa membaca adalah syarat wajib dalam menulis resensi buku. Tanpa membaca, mustahil kita dapat menulis resensi buku. Tanpa membaca, apa yang akan kita reproduksi? Ketuntasan dalam membaca berpengaruh juga pada kualitas resensi. Ibaratnya, jika inputnya jelek mustahil untuk mendapat output yang baik.

Jika kita lebih kreatif, kita bisa menyulap resensi kita menjadi artikel atau esai. Kita cukup membandingkan ide-ide dari buku lain, mengutarakan teori-teori yang terkait, dan mengkajinya lagi lebih dalam, maka resensi kita telah menjadi artikel. Karena resensi tidak perlu mendalam. Asal pembaca tahu apa ide-ide yang ada di buku yang diresensi dan pembaca tahu bagaimana penilaian peresensi sebagai kritikus buku maka semuanya sudah cukup. Dan memang begitulah resensi buku.

Sesungguhnya, kegiatan menulis resensi bagi siswa merupakan cara yang ampuh untuk belajar menulis (mengarang) dan mengakrabi dunia sastra. Siswa akan terbebas dari sindrom hapal teori dan tidak tahu bagaimana mempraktekannya. Karena teori adalah alat, bukan obyek. Dengan hafal teori dan tidak tahu penerapannya berarti kita telah mengeksplorasi alat. Padahal, yang harus kita eksplorasi dan kita gali lebih dalam adalah obyek.

Dengan menulis resensi siswa akan menjadi generasi kritis. Tuntutan untuk menilai ide dan gagasan orang lain dan menyampaikannya dengan bahasa yang santun, akan membentuk kepribadian siswa menjadi intelek normatif. Kalau mereka besar dan kemudian dipercaya oleh rakyat untuk mewakili duduk di kursi parlemen mereka tidak akan adu jotos ketika berselisih pendapat. Dan, yang terpenting dari semua itu adalah berkembangnya budaya tulis di tengah masyarakat dan kita akan sama-sama berkata: “Siapa bilang menulis itu sulit?”

Terakhir penulis mohon maaf jika pembaca merasa tertipu dengan membaca judul tulisan ini “Jurus Ampuh Agar Siswa Pintar Menulis Resensi”. Judul tersebut memang sengaja penulis buat seperti itu tidak lain agar pembaca penasaran, sebenarnya jurus apa sih yang akan diwariskan dari tulisan ini? Baiklah, sebagai permintaan maaf penulis akan mewariskan jurus tersebut. Hanya ada tiga jurus di dunia ini yang paling ampuh agar siswa pandai menulis resensi. Yang pertama, membaca. Yang kedua, membaca. Dan yang ketiga, membaca. Jadi, selamat membaca!

*) M. Haninul Fuad adalah Guru SMA Terbuka Mamba’unnur Gading Bululawang Malang, Penggagas kelompok diskusi “Taman Baca” Malang.

Rabu, 18 Juni 2008

Mengatasi problematika public speaking

Judul Buku: The Art of Using Humor in Public Speaking
Penulis: Anthony L Audrieth
Penerbit: Saujana, Yogyakarta
Cetakan: I (pertama), Januari 2004
Tebal: 138 halaman
Peresensi: M. Haninul Fuad

Public Speaking (pidato) merupakan salah satu cara orang menyampaikan ide-idenya pada orang lain. Berhasil atau tidaknya sebuah pidata tergantung pada kepiawaian sang orator dalam menyampaikan materi pidato. Di Indonesia, kita mengenal Soekarno sebagai sosok orator ulung. Bagaimana cara menyampaikan pesan pidato agar dapat diterima audien dengan baik?
Buku The Art of Using Humor in Public Speaking, mencoba mencarikan trik agar pidato yang akan kita sampaikan dapat bermanfaat sesuai dengan yang kita inginkan. Sebagai contoh, orasi polotik waktu kampanye, tentu saja sang orator berharap audien percaya dengan apa yang ia katakan, dan akhirnya tergerak untuk memilih partai politik (parpol) tertentu. Inilah salah satu tujuan dari pidato. Dan, yang ditawarkan buku ini adalah penggunaan humor untuk mencapai tujuan pidato tersebut.
Humor didefinisikan sebagai “Kemampuan mental dalam menemukan, mengekspresikan atau mengapresiasi sesuatu yang lucu atau sesuatu yang benar-benar tidak lazim”. Lucu adalah kata sifat yang berarti membuat tertawa atau terbahak-bahak melalui absurditas, keanehan, sesuatu yang berlebihan atau eksentrisitas yang nyata. Sedangkan tidak lazim adalah sesuatu yang kurang lazim dan tidak konsisten dengan bentuknya sendiri (halaman 15).
Hunor dalam public spesking (pidato), tidak dapat dianggap enteng keberadaannya. Kita tidak dapat membeyangkan bagaimana seandainya materi-materi keagamaan yang disampaikan oleh da’i kondang Aa Gym tidak diselingi dengan humor. Mungkin, orang akan cepat bosan dan meninggalkan majelis ta’lim. Untuk itulah, manajemen humor dalam public speaking yang ditawarkan buku karya Anthony L. Audrieth ini menjadi penting untuk kita perhatikan.
Buku ini memuat 64 jenis humor beserta definisinya. Hal ini memungkinkan pengguna humor untuk menentukan pilihan yang disesuaikan dengan karakter audien yang sedang dihadapinya. Beberapa jenis humor yang dimuat dalam buku ini adalah: anekdot, biogram, dan humor jorok (blue humor).
Anekdot dapat didefinisikan sebagai, “Berbagai insiden menarik atau peristiwa menghebohkan, baik yang dipublikasikan atau tidak”. Di negara kita (Indonesia), sosok yang terkenal dengan joke dan anekdotnya adalah Gus Dur.
Yang berikutnya, biogram. Biogram merupakan kelucuan orang terkenal yang biasanya diungkapkan dalam bentuk definisi. Sebagai contoh, “Adam adalah orang yang paling bahagia di dunia ini sebab dia tidak mempunyai ibu mertua”.
Sedangkan blue humor (humor jorok) merupakan humor deskriptif yang didasarkan pada subyek-subyek seperti seks, bagian tubuh, fungsi-fungsi tubuh, atau subyek-subyek lain yang mungkin menjadi ofensif bagi pendengar. Humor seperti ini tidak dapat digunakan dalam pidato atau presentasi di depan publik, melainkan hanya pada saat situasi-situasi lain yang berhubungan dengan kesenangan pribadi (halaman 40).
Satu hal terpenting dalam buku ini adalah pembahasan tentang cara penyampaian humor dalam pidato. Jika pidato yang disampaikan bersifat mendidik (tidak menghibur), maka humor harus sewajarnya. Hal ini untuk menjaga agar audien tetap terkesan dan menunggu-nunggu kata-kata berikutnya. Pembicara humor yang profesional tidak hanya menyampaikan gurauan. Mereka menggunakan humor untuk mengilustrasikan pesan mereka dengan efektif (halaman 109).
Pesan dalam buku ini yang harus diperhatikan berkenaan dengan penggunaan humor, bahwa humor yang sangat efektif adalah humor yang didasarkan pada pengalaman pribadi. Situasi pribadi itu tidak akan diketahui oleh orang lain atau menirunya. Carilah cerita-cerita pribadi yang memiliki unsur humor pribadi. Ingatlah definisi humor! Yaitu suatu hal menyedihkan yang disampaikan secara gembira. Sekali anda menyesuaikan diri dalam mencari materi baru, maka anda akan menemukannya di mana saja.
Buku ini layak untuk dijadikan referensi sebelum kita terjun lebih jauh dalam dunia public speaking (pidato). Permasalahan-permasalahan seperti demam panggung, penyampaian yang membosankan sehingga membuat audien meresa bosan, dan permasalahan-permasalahan lain seputar public speaking akan terbantu dengan hadirnya buku ini. Tentu saja, buku mmanajemen humor yang sedang Anda baca resensinya ini akan berarti jika Anda segera mengaplikasikan petunjuk yang ada dalam kegiatan Anda.
Selamat membaca, dan tiba-tiba Anda tersadar kalau Anda adalah sosok orator ulung yang selalu ditunggu oleh para audien anda.

*) Penulis adalah asisten dosen jurusan matematika Univ. Negeri Malang

Mereguk Oase dari Dai Fenomenal

Judul Buku : Petuah Aa Gym untuk bangsa yang gelisah
Penyusun : Muhammad Nurdin
Penerbit : PrismaSophie, Yogyakarta
Cetakan : I, Mei 2004
Tebal : 152 Halaman
Peresensi : M. Haninul Fuad


Tampilnya Aa Gym (K.H. Abdullah Gymnastiar) tidak hanya menarik perhatian masyarakat Indonesia. Metode dakwahnya (Manajemen Qolbu/ MQ) yang penuh dengan humor dan jauh dari kekerasan, telah merubah image Islam di mata dunia. The New York Times menulis tentang Aa Gym dengan judul “A TV Preacher to Satisfy the Taste for Islam Lit” edisi 20 Agustus 2002. Tidak hanya itu, majalah Time edisi 11 November 2002 juga menampilkan Aa Gym dalam empat halaman. Di bawah judul yang nge-pop, “Holy man Indosia’s Hottest Muslim Preaches a Slick Mix of Piety and Prosperity”, Aa Gym ditampilkan sebagai sosok flamboyan yang senantiasa mengajak manusia untuk mengontrol diri, toleran, dan memperbaiki moral.
Ternyata, yang datang pada Dai fenomenal ini tidak hanya pujian, melainkan juga hujatan. Hujatan datang dalam berbagai bentuk, seperti pernyataan di media massa, artikel, dan juga buku. Abdurrahman Al - Mukaffi melontarkan kritiknya lewat buku yang berjudul “Rapot Merah Aa Gym : MQ di Penjara Tasawuf”. Dalam catatan saya, buku ini menjadi buku best seller.
Bagaimanapun juga, Aa Gym tetaplah seorang Dai yang cukup sukses memberikan siraman batin pada masyarakat Indonesia. Di tengah-tengah situasi keamanan yang dipenuhi dengan konflik antar umat beragama Dai asal Gegerkalong ini mengambil perannya. Banyak aktifitas-aktifitas yang ia lakukan, salah satunya adalah mengunjungi daerah konflik.
Dalam situasi yang tidak menentu seperti saat ini, krisis kepemimpinan dan kepercayaan yang tak kunjung usai, hadirnya buku “ Petuah Aa Gym untuk Bangsa yang Gelisah” bisa menjadi semacam oase di padang pasir. Buku yang terdiri dari 30 artikel pendek dengan tema yang beragam ini memang terlalu naif kalau disebut sebagai pemecah masalah. Tapi, paling tidak buku ini telah menjalankan fungsinya sebagai sumber informasi, atau mungkin juga tuntunan menuju kehidupan yang damai.
Seperti bahasa lisan yang sering digunakan Aa Gym, buku ini juga menyuguhkan bahasa yang segar, mudah dicerna, dan tidak terkesan filosofis. Kesederhanaan bahasa inilah yang membuat Aa Gym dan karya tulisnya dapat diterima oleh semua kalangan.
Salah satu tema dari buku ini yang sangat menarik untuk dibicarakan saat-saat pemilihan presiden atau pemimpin (pilpres) adalah tentang kepemimpinan. Menurut Aa Gym kepemimpinan adalah salah satu anugerah dari Allah yang diberikan kepada manusia. Setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin. Kepemimpinan adalah sebuah keterampilan yang menuntut untuk terus dilatih (hal. 29)
Minimal ada empat ciri yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin yang efektif dan baik. Pertama, pemimpin harus memiliki visi kedepan, ia senantiasa berpikir bagaimana membangun sesuatu yang efeknya panjang dan bisa dinikmati di masa yang akan datang. Kedua, pemimpin harus pandai menyusun strategi yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi. Ketiga, pemimpin hendaknya pintar membaca situasi : potensi ilmu, potensi wawasan, bahkan potensi dari kegagalan yang pernah ia alami. Keempat, pemimpin efektif adalah pemimpin yang punya kemampuan memotivasi, sehingga pengaruhnya sangat berbekas dalam benak orang yang dipimpinnya. Semakin tinggi kemampuan memotivasinya, semakin kuat dan dalam pula pengaruh yang dihasilkannya (hal. 31).
Selain masalah kepemimpinan, masih banyak lagi tema-tema kehidupan yang dibahas dalam buku ini. Diantaranya adalah masalah penyakit rendah diri, berpikir positif, kunci kebeningan hati, ukhuwah, dan menyikapi perbedaan. Kesemua tema dalam buku ini diungkap dengan gaya khas, yang sangat memperhatikan penataan hati atau Manajemen Qolbu, sesuai dengan trade mark Aa Gym.
Buku-buku tentang Aa Gym dan pemikiran-pemikirannya yang membanjiri toko buku, dapat disikapi sebagai fenomena positif dalam kemajuan intelektualitas masyarakat Indonesia. Dan, yang terpenting adalah keterbacaan buku oleh segala lapisan masyarakat. Hal inilah yang menjadi kunci sukses penyebaran ide lewat buku.

M. Haninul Fuad adalah mahasiswa FMIPA Univ. Negeri Malang, mengoleksi buku-buku karangan Aa Gym.

Pergulatan Hidup Penulis Muda

Judul Buku: Kiat Menulis Artikel di Media: dari Pemula sampai Mahir
Penulis: M. Arief Hakim
Penerbit: Nuansa Cendikia, Bandung
Tahun Terbit: Edisi Revisi, Juli 2004
Tebal: 184 halaman (termasuk lampiran)
Peresensi: M. Haninul Fuad*)

Ada sebuah hitungan matematis yang dapat menggairahkan dunia tulis-menulis: misalkan seorang penulis dalam satu minggu dapat menghasilkan tiga tulisan yang dimuat di media nasional. Maka, dalam satu bulan penulis tersebut berkarya sebanyak 12 tulisan (artikel). Honor per tulisan di media nasional berkisar antara Rp. 200.000 sampai Rp. 600.000. Misalkan kita ambil tengah-tengahnya (Rp. 400.000) untuk honorarium setiap artikel, maka penghasilan penulis perbulannya Rp. 4.800.000. Angka ini merupakan pendapatan yang cukup besar untuk ukuran orang Indonesia. Bahkan, angka ini melebihi gaji seorang profesor di perguruan tinggi. Sungguh angka yang tidak mengecewakan!
Tapi, suara lirih penulis sering kali kita dengar. Ada yang mengeluh kalau hidup ini terlalu berat bagi seseorang yang menyandang profesi sebagai penulis, apalagi penulis pemula. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Bagaimana pergulatan hidup seorang penulis pemula menghadapi “kekejaman” redaktur media massa? Buku “Kiat Menulis Artikel di Media: dari Pemula sampai Mahir” yang ditulis oleh M. Arief Hakim menawarkan solusi praktis berkaitan dengan masalah ini.
Hakim, yang memulai “karier” dalam dunia tulis-menulis” pada usia 15 tahun, usia yang cukup dini, mencoba berbagi pengalaman menulis di media massa. Buku ini terasa lengkap karena penulisnya menyajikan semua jenis tulisan yang biasa kita jumpai di media cetak, mulai dari artikel, esai, kolom, sampai pada karya jurnalistik yang berbentuk berita dan feature.
Dunia tulis-menulis tidak dapat dipisahkan dengan ide dan orisinilitas. Modal dasar seorang penulis adalah “kepekaan” dan “sikap kritis” berhadapan dengan teks kehidupan, entah teks tertulis maupun teks yang tidak tertulis. Dari sini penulis mendapat ide dan inspirasi, lantas mengelolanya menjadi karya tulis (halaman 17). Penuangan ide menjadi karya tulis menuntut ketreampilan dan melalui proses yang terus menerus (kontinu). Menulis adalah proses latihan dan mencoba terus menerus. Kemampuan menulis ibarat mata pisau, agar tidak berkarat mata pisau harus dipakai dan diasah terus menerus (halaman 54).
Selain proses yang terus menerus, seorang penulis pemula diberikan kebebasan untuk belajar pada penulis tenar yang ia kehendaki. Dalam buku ini kita dapat belajar dari penulis tenar seperti: Karl Marx, Sigmund Freud, Soedjatmoko, Pramudya Ananta Toer, Goenawan Mohammad, William lidle, Abdurrahman wahid, Nue Cholish Madjid, Jalaludin Rachmat, Jaya Suprana, Putu Wijaya, Emha Ainun Nadjib, dan penulis-penulis hebat lainnya. Namun begitu, langkah ini harus dijauhkan dari tindak plagiasi. Hakim menambahkan, seorang penulis yang berorientasi pada nama besar dan honorarium serta imbalan sebanyak-banyaknya tidak akan menjadi penulis besar dan berpengaruh.
Selain ide yang baru dan orisinilitas tulisan, seorang penulus pemula yang ingin tulisannya dimuat di media massa harus memperhatikan betul karakter media yang ingin dituju. Kita mesti rajin memantau kecenderungan artikel di media tersebut. Meskipun sama-sama bernama artikel, kadang ada nuansa perbedaan antara satu media massa dengan media massa yang lainnya. Perbedaan itu misalnya dalam hal panjang pendeknya, dalam hal pilihan temanya, dalam hal selera penuangan serta ungkapan bahasanya, dalam hal ide dan gagasannya, dan lain-lain (halaman 151).
Buku panduan praktis bagi penulis pemula yang terdiri dari empat bagian ini sangat penting keberadaannya ditengah permasalahan penulis pemula yang kian akut. Setidaknya, buku ini menjadi motifator bagi penulis pemula untuk terus mencoba dan pada akhirnya redaktur media massa tertarik dan memuat artikel yang dikirimkan oleh penulis yang belum memiliki nama besar.
Lampiran buku yang berisi 98 nama dan alamat media cetak di Indonesia memberikan kemudahan bagi pembaca yang ingin mempublikasikan tulisannya. Buku ini terasa berharga bagi penulis pemula yang ingin menunjukkan eksistensinya dalam bidang kepenulisan. Dan, yang paling penting dari semua yang ada dalam buku ini adalah bagian “proses kreatif menulis”, disitu tertuang bagaimana seharusnya pergulatan hidup penulis pemula dimulai. Selamat membaca, dan tiba-tiba anda menjadi penulis hebat!

*) M. Haninul Fuad adalah mahasiswa Univ. Negeri Malang, ketua kelompok diskusi KLC Malang.

Gerilya Che Guevara yang Heroik

Judul Buku: Pidato-pidato Politik Che Guevara
Penulis: Che Guevara
Penerbit: Diglosia, Surabaya
Tahun Terbit: Cetakan I, Juni 2004
Peresensi: M. Haninul Fuad*)

“Banyak orang akan menyebut saya petualang –dan itulah saya, hanya salah satu dari jenis petualang yang berbeda: salah satu orang yang mengambil resiko untuk membuktikan kata-kata hampanya” –Che Guevara.

Ernesto Ravael Guevara De La Serna (14 Juni 1928 – 9 Oktober 1967) atau biasa dipanggil Che Guevara adalah tokoh penggerak revolusi Kuba. Suatu ketika ia berada di Chuquicamata, sebuah kota tambang tembaga terbesar di dunia dan sebuah benteng partai komunis di Chile. Ia melihat adanya jurang perbedaan yang mencolok antara para mandor penambang –para juragan berambut pirang dan yonke- dan para penambang.
Realitas yang ia lihat di penambangan inilah yang berpengaruh besar terhadap cara pandangnya. Kemudian, ia menuliskan semangat refolusionernya untuk mengubah nasip para buruh tambang dalam dinginnya malam dan semangat kebersamaan. Sebagian besar penulis biografi Che percaya: bermula dari kunjungan ke Chuquicamata proses kebangkitan politik Che bermula. Che bercita-cita mengubah nasip para buruh dengan perjuangan revolusioner yang begitu heroik dan mendebarkan.
Latar belakang pendidikan Che yang kedokteran, jelas kurang mendukung kiprah politiknya. Semangat juang membebaskan rakyat dari kaum “penindas” adalah modal yang paling ampuh dalam menjalankan gerakan revolusi. Memaknai kematian, Che memandangnya sebagai sesuatu yang pasti dialami oleh setiap manusia yang hidup. Oleh karenanya, dalam pernyataan revolusionernya Che mengatakan, “Dalam sebuah revolusi, orang menang atau mati”.
Tahun ini, dunia perbukuan Indonesia di banjiri oleh buku-buku yang mengupas heroiknya biografi Che Guevara. Sebelum buku ini, penerbit Narasi meluncurkan buku “Hari-hari terakhir Che Guevara” yang menyajikan catatan harian sang revolusioner. Gairah penerbitan buku Che ini dapat disikapi sebagai fenomena positif dalam pergerakan di Indonesia.
Menyimak kisah hidup Che Guevara yang heroik, orang tidak akan lupa dengan perang gerilya yang ia lakukan bersama kawan-kawan seperjuangan yang konsisten pada gerakan revolusi. Bagaimana strategi perang gerilya Che Guevara? Buku “Pidato-pidato Politik Che Guevara” mengupas apa dan bagaimana perang gerilnya pada revolusi Kuba.
Perang yang dilancarka kelompok Che Guevara selalu membawa ke setiap sudut dimana musuh membawanya. Musuh tidak diberi kesempatan untuk menikmati masa damai baik di luar barak maupun di dalam baraknya. “Kita harus menyerang musuh dimana saja, membuatnya seperti binatang buas yang terpojok,” begitu ungkap Che (halaman 27).
Medan yang dihadapi oleh kelompok gerilyawan tidaklah mudah. Udara dingin di pegunungan dan nyamuk ganas di hutan menjadi teman sehari-hari. Belum lagi sakit asma yang diderita Che guevara, dan ditambah patroli tentara bolivia yang menuntut kewaspadaan. Semuanya memerlukan strategi yang matang.
Perang, menurut Che, bukanlah solusi terbaik dalam sebuah perselisihan. Seorang revolusioner tidak harus memanggul senjata selagi jalan damai bisa ditempuh. Menghadapi kebengisan pemerintah yang sah hasil pemilu –curang ataupun tidak- perang gerilya tidak dapat dilakukan, karena kemungkinan-kemungkinan perjuangan yang damai belum usai (halaman 130).
Tentang cinta damai, Che mengatakan, “Dengan resiko yang tampak menggelikan aku mengatakan bahwa tokoh revolusioner yang sebenarnya tertuntun oleh perasaan cinta yang besar”.
Akhir dari sebuah drama kehidupan tokoh revolusi terkenal berada pada pucuk senapan. Kelompok gerilyawan yang sudah lama diburu, akhirnya pada tanggal 8 Oktober 1967 dapat dilumpuhkan. Sehari kemudian Che dibunuh setelah penangkapnya melakukan konsultasi dengan pemerintah Bolivia dan Washington. Tapi, semangat juang dan strategi perang gerilya yang dilaksanakan oleh Che Guevara menjadi inspirasi gerakan revolusi di berbagai belahan dunia.

*) Penulis adalah Guru di Ponpes Mamba'unnur sedang melanjutkan studi di Univ. Negeri Malang

Memetik Hikmah dari Memoar Sang Guru

Judul Buku: Tak sengaja menjadi Guru
Editor: Pearl Rock Kane
Penerbit: MLC (kelompok Mizan), Bandung
Tahun Terbit: Cetakan I, februari 2004
Tebal: 287 halaman
Peresensi: M. Haninul Fuad

Guru, keberadaannya selalu saja menarik untuk dibicarakan. Mulai jasanya yang tidak dapat kita abaikan begitu saja, sampai nasibnya yang tak kunjung membaik. Tak heran kalau hal ini menjadi inspirasi musisi kita (Iwan Fals) untuk menuangkannya dalam sebuah lirik lagu “Oemar Bakrie”.

Buku “Tak Sengaja Menjadi Guru” yang merupakan antologi “memoar” dari para guru di Amerika mengisahkan pengalaman pertama guru berinteraksi dengan para muridnya. Beragam kisah dalam buku ini pantas untuk kita jadikan referensi khususnya bagi para guru. Walhasil, penerbitan buku ini dapat kita sikapi sebagai bentuk kepedulian penerbit terhadap dunia pendidikan kita yang sangat memprihatinkan.

Kita cermati hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC). Menurut survei terkait, sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia. Dari 12 negara yang disurvei oleh lembaga yang berkantor pusat di Hongkong itu, Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta Malaysia. Indonesia menduduki urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam.

Menanggapi kenyataan ini kita bisa saja berapologi dengan mengatakan bahwa pendidikan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik. Suramnya pendidikan nasional sangat terkait dengan keadaan sosial politik (krisis moneter dan konflik) yang memberikan dampak luar biasa (berat) kepada pendidikan. Pada akhirnya persoalan stabilitas dan keamanan menjadi persoalan dasar yang harus segera diselesaikan, sebab pelaksanaan pendidikan butuh rasa aman.

Yang sangat mendesak untuk dipertanyakan dalam masalah ini adalah urutan Indonesia yang nomor 12. Kenapa sistem pendidikan kita cukup berada pada posisi juru kunci? Kita tahu, hampir semua negara di Asia tenggara menderita krisis moneter, kenapa pendidikan di Indonesia yang harus berada pada urutan paling bawah? Dalam keterpurukan ini, tidak ada salahnya jika kita belajar dari Amerika lewat kisah dalam buku yang dieditori oleh Pearl Rock Kene, seorang profesor pendidikan di teachers college, Columbia University.

Terkait dengan masalah ini, buku “Tak sengaja Menjadi Guru” yang berpenampilan menarik, diceritakan oleh para guru dari negeri Paman Syam dengan bahasanya yang “renyah” dan mudah dicerna menjadi penting untuk dibicarakan. Literatur semacam ini perlu diperbanyak, agar kualitas cara penyampaian mata pelajaran kita yang selama ini cenderung konservatif dan behavioristik menjadi membaik dan konstruktivistik. Kita tahu, sudah sejak lama di Amerika menerapkan model pembelajaran yang konstruktivistik. Kita dapat menarih hikmah dari buku ini.

Rosemary Genova DiBatistaseorang pengajar di sebuah SMA di Pusat New Jersey, mengisahkan betapa sulitnya menumbuhkan minat belajar pada seorang murid. Adalah Adrianna, murid “Ms. G” panggilan akrab Adrianna pada Genova, gurunya, yang akan dikisahkan dalam cerita ini. Tidak berlebehan jika “Ms. G” memberi judul kisah ini “Adrianna”, judul yang sama dengan nama muridnya yang bermasalah itu.
Tiap kali diberi nasihat untuk giat belajar agar bisa melanjutkan studi di perguruan tinggi, Adrianna selalu acuh. “Saya hanya ingin lulus SMA, titik!” begitu kata Adrianna, pada “Ms. G” yang mencoba memberi perhatian khusus padanya. Suatu ketika, “Ms. G” menyarankan Adrianna untuk masuk kelas bahasa inggris persiapan ke perguruan tinggi. Tapi, jawabnya selalu sama, dia hanya ingin lulis SMA. Akhirnya, Adrianna jadi juga masuk kelas persiapan itu. “Ms. G” tampak senang, barangkali Adrianna benar-benar ingin melanjutkan studinya ke perguruan tinggi.

Apa yang dibayangkan oleh “Ms. G” ternyata salah. Adrianna masuk kelas itu bukan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, ia hanya ingin lulus. “Ms. G” sempat putus asa menghadapi Adrianna. Suatu sore, Adrianna datang pada “Ms. G” ke kantornya dengan membawa tas bayi dan seorang balita. “Ms. G” menyambut Adrianna dengan senang, kemudian menanyakan perihal balita yang dibawa. Alangkah terkejutnya “Ms. G” mendengar cerita Adrianna. Balita itu adalah anak Adrianna. Permasalahannya menjadi jelas sekarang. Rendahnya minat belajar Adrianna karena berbagai tekanan yang ia alami berkaitan dengan keluarganya.

Setelah diskusi panjang antara Adrianna dan “Ms. G”, Adrianna akhirnya memutuskan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi yang dekat dengan tempat pengasuhan anak untuk menitipkan balitanya. Sebagai guru, “Ms. G” telah berhasil mengarahkan muridnya yang penuh masalah, Adrianna.

Kisah lain yang tidak kalah menariknya adlah “ Tertulis di Situ, Aku Sangat Marah pada Bu Anita”. Cerita nyata ini dialami oleh Anita S. Charles, seorang guru pendidikan alternatif sekolah umum di Portland, maine. Setting cerita yang dikisahkan oleh Anita ini tidak terjadi di tempatnya mengajar saat ini (SMU), tetapi di tempat dimana pertama kali ia mengajar. Karier Anita sebagai guru berawal dari sekolah dasar (SD), sebuah sekolah paroki tengah kota di JerseyCity, New Jersry.

Betapa sulitnya seorang Anita yang dipersiapkan untuk mengajar siswa sekolah menengah tetapi harus mengajar di kelas satu sekolah dasar. Selain itu, ia yang berasal dari daerah pedesaan New England, yang tidak tahu apa-apa tentang sekolah di perkotaan, dan belum pernah bertemu dengan seorang suster, harus mengemban tugas mulia ini. Di tempat barunya ini, Anita merasa benar benar asing. Anak-anak yang sibuk dengan aktivitasnya sendiri, menari, berlari kesana kemari, menjerit-jerit histeris, memukuli temannya, itulah pemandangan pertama di kelasnya yang terisi tiga puluh tiga wajah yang belum pernah ia kenal. Nama anak-anak itu, Raneesha, Latisha, Lakeisha, Tyeshia, Marisha, Yajayra, Yasenia, semua asing di telinganya. Mereka berkulit hitam dan keturunan spanyol.

Kedatangan Anita tampaknya kurang disukai oleh murid-muridnya. “Suster Barbara bilang Ibu adalah guru yang baik! Tetapi, kini, aku tidak suka Ibu lagi!” kata salah satu murid yang bernama Pablo ketika dilarang keluar meninggalkan kelas. Pablo kembali duduk di tempatnya sambil meninju meja.

Minggu demi minggu berlalu, Anita ering berteriak sendiri karena tidak tahu lagi cara melepaskan ketegangan yang disebabkan oleh energi luar biasa dari para kurcaci di kelasnya. Satu hal yang dapat menghiburnya adalah saat ia mencemaskan murid-muridnya. “Anak-anak selalu baik,” ujar suster Barbara dengan lembut pada Anita. “Kelakuannyalah yang harus kita tangani, dan besok adalah hari lain.”

Tidak semua permasalahan makhluk-makhluk mungil iti dapat ditangani oleh Anita. Termasuk keangkuhan dan kenakalan Carla. Murid cerdasnya ini sering membuat masalah. Pada akhirnya, Anita memberi Carla sebendel kertas untuk menuliskan perasaannya waktu itu. Seatu ketika carla menyodorkan kertas pada anita. Disitu tertulis dengan huruf cetak: “Aku marah sekali pada Bu Anita,” Anita mengangguk dan berkata, “Ibu mengerti,” dan Carla secara sepontan, mengetahui dia berhasi, memeluk Anita dengan tersenyum.

Kisah-kisah lain dalam buku ini, yang terdiri dari 25 cerita, sayang untuk dilewatkan oleh para “Oemar Bakrie” kita. Hanya saja ada beberapa kesalahan ketik yang cukup menganggu dalam buku ini, seperti pada halaman 96, batita seharusnya balita. Selain itu, ada kalimat yang agaknya kurang pas, “Setelah Adrianna lulus, aku menulisinya surat meminta agar kami tetap saling menghubungi,” (halaman 99). Tanpa mengurangi esensi dari buku, kesalahan teknis seperti itu sedapatnya dihindari oleh penerbit. Selamat membaca, kemudian kita akan sama-sama menikmati bergairahnya dunia pendidikan di Indonesia.
*) M. Haninul Fuad adalah pengajar di Ponpes Mamba’unnur Malang

Merajut Hubungan Sains-Agama

Judul Buku: Membaca Alam membaca Ayat
Penulis: Bruno Guiderdoni
Penerbit: Mizan, Bandung
Tahun Terbit: Cetakan I, Agustus 2004
Tebal: 208 halaman (termasuk indeks)
Peresensi: M. Haninul Fuad

Madilog, singkatan dari Materialisme Dialektika Logika, merupakan karya terbesar pemikir Indonesia Tan Malaka. Nama Tan Malaka sendiri ikut terpendam bersama pemikiran-pemikiran marxis lainnya. Memang, Indonesia terutama masa orde baru (Orba) mengharamkan ideologi komunis untuk tumbuh di gembur subur sawah nusantara. Sejatinya tidak hanya ideologi komunis, pemasungan juga terjadi dalam hal proses berfikir. Orba seperti seperti sebuah agama yang mengharamkan ijtihad. Makanya kenapa, hanya ada lima agama yang diakui oleh pemerintah waktu itu. Lainnya tidak! Termasuk agama asli produk Indonesia (animisme, dinamisme, dan demonology) yang tidak termasuk dalam lima agama negara juga tidak diakui dan dihambat perkembangannya.

Pembahasan tentang agama, Tan Malaka memulainya dari masalah kepercayaan yang didefinisikan sebagai paham yang tidak beralaskan kebendaan. Dengan kata lain, kepercayaan adalah paham yang tidak berdasarkan benda, yang bisa dialami atau bisa dipikirkan kemungkinan diperalaminya. Paham yang bertolak belakang dengan kepercayaan adalah sains. Ilmu pengetahuan (sains) merupakan paham yang berdasarkan barang, perkara, atau kejadian yang bisa diamati atau setidaknya masuk diakal.
Paham nenek moyang Indonesia (animisme, dinamisme, dan demonology) yang tidak dianggap sebagai agama oleh Orba, oleh Tan Malaka justru disejajarkan dengan agama-agama lain yang di Indonesia ada lima yaitu: Islam; Kristen; Katolik; Hindu; dan Budha, yang kemudian setelah Orba tumbang jumlah agama tersebut mengalami pertambahan. Tan Malaka memandang, dalama masalah ini hanya ada dua zenit (kutub) yaitu kepercayaan dan ilmu pengetahuan.

Ada teks yang menarik dalam Madilog dan merupakan pandangan orisinil penulisnya, teks itu berbicara tentang agama. “Selama alam ada dan selama alam raya itu ada, selama itu pula hukum alam raya berlaku. Berhubung dengan ini maka yang Maha Kuasa, jiwa yang terpisah dari jasmani, surga atau neraka, berada diluar alam raya, berada diluar madilog dan tidak dikenali dalam ilmu pengetahuan. Semua itu jatuh pada daerah kepercayaan semata-mata. Ada atau tidaknya hal itu, berpulang pada kecondongan perasaan masing-masing orang.” (Madilog, halaman 392).

Disini, wacana agama akal yang diusung oleh sebagian agama yang salah satunya adalah Islam, ditolak mentah-mentah oleh Madilog. Logika Madilog yang menggunakan logika dua dimensi (logika hitam putih), secara tegas membedakan agama dengan akal. Agama hanya terkait dengan perasaan dan intensitas kepercayaan terhadap setiap dogma yang ada di dalamnya.

Ditengah hubungan sains dan agama yang makin memburuk, diperparah lagi oleh serangan kaum sekuleris, Bruno Guderdoni, seorang direktur riset Institut Astrofisika Paris, sekaligus sebagai direktur Institut Islam untuk studi-studi lanjut Perancis, mencoba merajut hubungan sains dan agama, atau menurut istilah Guiderdoni, “mistisme islam”.
Guiderdoni memberikan beberapa definisi tentang agama dan sains. Misalnya, sains menjawab pertanyaan “bagaimana”, sedangkan agama pertanyaan “bagaimana”; sains berurusan dengan “fakta”, sedang agama berurusan dengan “nilai”; sains mendekati realitas secara analitis, sedang agama secara sintesis. Akar kata latin dari science dan religion berturut-turut adalah “memotong” dan “menyambung”. Tetapi, Guiderdoni tidak begitu puas dengan definisi ini (halaman 41). Perbedaan antara agama dan sains terletak pada isu penyelamatan. Sains merupakan upaya manusia untuk memahami alam semesta, sedang agama adalah pesan yang diberikan Tuhan untuk membantu manusia mengenal Tuhan dan mempersiapkan manusia untuk menghadap Tuhan.

Berbeda dengan Tan Malaka yang cenderung memisahkan (secara radikal) agama dengan sains, Guiderdoni justru memandang agama dan sains sebagai satu kesatuan yang terkait erat. Agama yang selalu mendorong pencarian pengetahuan, terutama pengetahuan tentang dunia, yang diciptakan oleh Tuhan untuk manusia, menekankan pada manusia untuk membaca ayat-ayat Tuhan di mana-mana. Ketertataan alam semesta secara cermat, menurut Guiderdoni, sangat naif jika disebut sebagai sebuah kebetulan. Pada akhirnya, manusia akan menuju pada kausalitas final, bahwa semua yang ada di dunia ini adalah kehendak Tuhan.

“Aktivitas saintifik (ilmiah) adalah cara beribadah kepada Tuhan bagi mereka yang menjalani pencarian relijius” (halaman 43). Dari sini, muncullah “sains yang religius”. Wilayah aktivitas sains dan agama, yang dipisahkan oleh Tan Malaka, dan juga kaum sekuler lainnya, sebenarnya memiliki titik temu yang satu. Wilayah ini memang seharusnya tidak terpisah, tetapi keduanya harus dipandang sebagai ragam aktivitas yang berbeda.

Seorang astronom muslim yang merenungkan langit akan mengagumi ciptaan Tuhan. Dia harus menggunakan nalar yang dianugerahkan oleh Tuhan kepadanya untuk menyembah Allah, dan memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Di luar itu, ia harus melakukan ritual keagamaan sesuai dengan apa yang telah diwahyukan oleh Allah.
Buku ini terasa kaya dengan masalah kosmologi modern yang “dikawinkan” oleh penulisnya, dengan mistisme Islam. Terkait masalah keimanan, kiranya buku “Membaca Alam, Membaca Ayat” layak dijadikan referensi bagi kaum muslim. Seperti yang sudah saya sebut di depan, hal ini penting untuk menghadapi serangan kaum sekuler yang semakin gencar memisahkan nilai-nilai agama (syari’at) dengan kehidupan manusia. Yang pada ujungnya, kaum sekuler menginginkan ateisme global. Inilah yang harus diwaspadai oleh umat islam!

*) M. Haninul Fuad adalah pengulas buku, ketua kelompok diskusi KLC Malang

Kegaiban Kata Cerpenis Kita

Judul Buku : Sepi pun Menari di Tepi Hari
Editor : Kenedi Nurhan
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tahun Terbit : Cetakan I, Juni 2004
Tebal : x1i + 180 halaman
Peresensi : M. Haninul Fuad*)

Akulah keluh: Aku akan naik menjulang ke angkasa
Akulah nafas, namun aku meloncat dari api
Meloncat tinggi oleh cita luhur
Penaku melontarkan rahasia tabir segala ini
Dan butir pasir tumbuh meluas
Menjadi padang sahara
(Mohammad Iqbal)

Seorang filsuf eksistensialis Perancis, Jean Paul Sartre, pernah menuliskan bahwa kata adalah hakikat segalanya. Terlepas dari permasalahan benar atau salah pernyataan itu, dalam penulisan cerpen, kemahiran berbahasa adalah modal utama yang harus dimiliki oleh cerpenis. Disamping itu, kemampuan bercerita juga mutlak diperlukan dalam kerja penulisan cerpen.

Sudah menjadi rutinitas, setiap tahun penerbit buku Kompas menerbitkan beberapa karya terbaik para cerpenis kita. Rutinitas ini dapat dipandang sebagai bentuk kepedulian terhadap dunia tulis-menulis khususnya dalam penulisan cerpen. Kita tahu setelah masa keemasan sang maestro cerpen Indinesia, Danarto, dunia cerpen kita seperti kehilangan nafas. Kadang merasa tersengal, lain waktu kita dibuat “asma” lantaran minimnya cerpen yang dapat memberi “pencerahan” pada pembacanya.

Tema dari keenambelas cerpen pilihan Kompas 2004 yang dibukukan dalam “Sepi pun Menari di Tepi Hari” sangat beragam. Tapi, “konflik” antara laki-laki dan perempuan, yang mungkin terlalu naif untuk disebut cinta, mendominasi kumpulan cerpen kali ini.
“Keroncong Cinta” menceritakan betapa gelisahnya hati Madelaine, seorang gadis Belanda yang diam-diam menaruh hati pada Eric Mulyana sang pelantun lagu keroncong asal Indonesia. Suara emas Eric, dikisahkan oleh Madelaine kepada murid-muridnya di taman kanak-kanak, dapat menyulap musim dingin dengan salju yang berguguran menjadi musim semi.

Mendengar cerita seorang pengeran yang tampan dan jika bernyanyi musim dingin tiba-tiba menjadi musim semi, siswa taman kanak-kanak pun kegirangan. Diantara mereka ada yang menginginkan Madelaine untuk menyuruh pangeran Eric segera bernyanyi. “Agar cepat musim semi!” celoteh anak-anak yang mengundang tawa Madelaine. Tapi, tidak dengan hati Madelaine. Kerinduan pada sang pelantun tembang keroncong mulai menggerogoti tubuh dan pikirannya.

Meski Madelaine akhirnya memiliki kekasih bernama Peter, hatinya tampak sulit melupakan kenangan indah bersama Eric. Di akhir cerita, Madelaine kembali lagi ke Indonesia. Ending yang sangat tak terduga, ternyata di Indonesia Madelaine malah merindukan Belanda dan tentu saja Peter.

Cerita lain, “Suatu Hari di Bulan Desember 2002” yang ditulis oleh Sapardi Djoko Damono, mengisahkan sosok Marsiyam. Sapardi tampak begitu mahir bermain dengan kata-kata. Marsiyam, yang mungkin plesetan dari dua nama yaitu Mariam dan Marsinah, menjalani alur hidup yang mirip-mirip dengan dua tokoh terakhir. Penindasan kaum perempuan oleh kaum adam menjadi topik sentral dari cerpen Sapardi yang satu ini.
Penerbitan buku kumpulan cerpen terbaik Kompas secara rutin agaknya dapat kita gunakan sebagai pengobat rindu akan cerpen dengan kata-kata “gaib”, yang dapat meloncat dari dimensi kesadaran menuju dimensi imajinatif yang kita sendiri tidak dapat menyebutkan letaknya di mana. Keindahan gaya bahasa, yang menjadi andalan kumpulan cerpen “Sepi pun Menari di Tepi Hari” akan memperkaya kita akan kosa kata indah. Kita simak bagian awal cerpen “Liang” karya Indra Tranggono.

“Tangis Wasti pecah, pagi itu. Kantong air matanya jebol ditohok kalimat-kalimat runcing mengkilat para tetangganya. Liang matanya terasa perih, sangat perih. Air matanya terlalu banyak mengalir, hampir sepanjang waktu, seperti aliran selokan yang membelah kampung itu” (halaman 129)

“Jaring Laba-laba” karya cerpenis asal Malang dan berkali-kali masuk dalam kumpulan cerpen Kompas, Ratna Indraswari Ibrahim, menyuguhkan kenakalan imajinasi penulisnya. “Alam antara” yang di sajikan Ratna sungguh tampak memukau. Antara benar dan tidak, antara nyata dan khayal, akhirnya membawa pembaca pada masalah percaya atau tidak.
Masih banyak cerpen-cerpen lain dalam kumpulan ini yang menyuguhkan kegaiban kata dari para cerpenis kita. Membaca kumpulan cerpen ini seperti menikmati bunga rampai pemikiran anak negeri. Dan, satu hal yang teramat penting adalah masalah “kegaiban” kata-katanya. Sungguh sangat memukau!

*)M. Haninul Fuad adalah pengulas buku, tinggal di Malang

Minggu, 15 Juni 2008

Jurus Ampuh Agar Siswa Pintar Menulis Resensi

Oleh: M. Haninul Fuad*)

Sesungguhnya, kegiatan menulis resensi bagi siswa merupakan cara yang ampuh untuk belajar menulis (mengarang) dan mengakrabi dunia sastra. Siswa akan terbebas dari sindrom hapal teori dan tidak tahu bagaimana mempraktekannya. Karena teori adalah alat, bukan obyek. Dengan hafal teori dan tidak tahu penerapannya berarti kita telah mengeksplorasi alat. Padahal, yang harus kita eksplorasi dan kita gali lebih dalam adalah obyek. Hanya ada tiga jurus di dunia ini yang paling ampuh agar siswa pandai menulis resensi. Yang pertama, membaca. Yang kedua, membaca. Dan yang ketiga, membaca. Jadi, selamat membaca!


Siapa bilang menulis itu sulit? Buktinya, setiap hari kita selalu menulis. Menulis pelajaran di sekolah, menulis pesan untuk ayah dan ibu ketika kita meninggalkan rumah, menulis daftar belanjaan yang dipesankan ibu, menulis surat untuk teman dekat kita di sekolah, menulis…, menulis…., dan menulis. Intinya, kita tidak dapat terlepas dari kegiatan menulis setiap hari. Lalu, kenapa kita selalu mengeluh tidak bisa ketika guru Bahasa dan Sastra Indonesia menugaskan untuk membaca kemudian membuat resensi buku?
Ada banyak hal mengapa menulis resensi menjadi begitu sulit. Pertama, kita terlanjur memvonis bahwa membaca buku itu pekerjaan yang membosankan. Kedua, kita terlanjur meyakinkan diri kita bahwa kita bukan seorang penulis. Ketiga, barangkali kita telah beranggapan bahwa menulis resensi adalah pekerjaan yang sia-sia dan tidak akan menghasilkan apa-apa. Dengan kata lain, kita belum tahu manfaat menulis resensi buku. Keempat, dan seterusnya, tentu masih banyak vonis-vonis pada diri kita yang membuat pekerjaan menulis resensi buku terasa berat dan membosankan.
Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, pertama-tama yang harus kita lakukan adalah membuang jauh-jauh anggapan-anggapan salah tersebut. Kita adalah penulis! Penulis bukan hanya orang yang tulisannya selalu nongol di halaman media massa nasional. Setiap orang yang menulis, apapun itu, dia adalah penulis. Kita tahu, asal kata “penulis” adalah “tulis” yang mendapat prefik “pe” yang kemudian artinya menjadi orang yang melakukan kerja menulis. Tidak ada batasan apa yang ditulis.
Keuntungan yang bisa kita dapat dari menulis resensi buku antara lain: (1) paling sedikit, dapat menggairahkan minat membaca kita sendiri, (2) menambah wawasan dan pengetahuan dari apa yang kit abaca; sekaligus juga dapat mengetahui dan memahami isi buku yang bersangkutan, (3) dapat mempertajam sikap kritis, (4) belajar dan sekaligus dalam rangka mempermahir menulis, (5) jika dikirim ke salah satu media massa dan beruntung dapat dimuat, maka dengan sendirinya tulisan kita akan dibaca orang yang pada gilirannya, orang pun akan mengenal nama kita, (6) sebagai akibat dari butir (5) maka kita pun akan memperoleh imbalan yang lumayan dari media massa yang bersangkutan, (7) menjalin hubungan baik dengan pengarang dan penerbitnya. Secara idealis, berdialog dan berbagi pengalaman dengan pembaca yang lain (Maman S. Mahayana: 2005).
Setelah mengetahui beberapa manfaat dari kegiatan menulis resensi, yang harus kita lakukan adalah menanamkan dalam-dalam pada diri kita bahwa menulis resensi adalah pekerjaan yang mudah. Karena resensi adalah salah satu jenis karya reproduksi. Artinya, dalam menulis resensi kita hanya memindahkan gagasan orang lain ke dalam tulisan kita dengan bahasa dan gaya ungkap kita sendiri.
Sebagai hasil reproduksi resensi harus disajikan lebih menarik. Penilaian kita terhadap ide orang lain yang kita reproduksi menjadi hal yang wajib agar resensi yang kita buat menjadi karya yang orisinil. Penafsiran terhadap buku yang kita baca dan kita buat resensinya, akan menuntun kita dalam menilai sebuah buku. Berangkat dari penafsiran kita menuju pada poin-poin penting tentang kelebihan dan kekurangan buku. Dengan begitu, orang yang membaca resensi tidak merasa membaca ringkasan atau resume buku.
Dari uraian tersebut di atas tersirat bahwa membaca adalah syarat wajib dalam menulis resensi buku. Tanpa membaca, mustahil kita dapat menulis resensi buku. Tanpa membaca, apa yang akan kita reproduksi? Ketuntasan dalam membaca berpengaruh juga pada kualitas resensi. Ibaratnya, jika inputnya jelek mustahil untuk mendapat output yang baik.
Jika kita lebih kreatif, kita bisa menyulap resensi kita menjadi artikel atau esai. Kita cukup membandingkan ide-ide dari buku lain, mengutarakan teori-teori yang terkait, dan mengkajinya lagi lebih dalam, maka resensi kita telah menjadi artikel. Karena resensi tidak perlu mendalam. Asal pembaca tahu apa ide-ide yang ada di buku yang diresensi dan pembaca tahu bagaimana penilaian peresensi sebagai kritikus buku maka semuanya sudah cukup. Dan memang begitulah resensi buku.
Sesungguhnya, kegiatan menulis resensi bagi siswa merupakan cara yang ampuh untuk belajar menulis (mengarang) dan mengakrabi dunia sastra. Siswa akan terbebas dari sindrom hapal teori dan tidak tahu bagaimana mempraktekannya. Karena teori adalah alat, bukan obyek. Dengan hafal teori dan tidak tahu penerapannya berarti kita telah mengeksplorasi alat. Padahal, yang harus kita eksplorasi dan kita gali lebih dalam adalah obyek.
Dengan menulis resensi siswa akan menjadi generasi kritis. Tuntutan untuk menilai ide dan gagasan orang lain dan menyampaikannya dengan bahasa yang santun, akan membentuk kepribadian siswa menjadi intelek normatif. Kalau mereka besar dan kemudian dipercaya oleh rakyat untuk mewakili duduk di kursi parlemen mereka tidak akan adu jotos ketika berselisih pendapat. Dan, yang terpenting dari semua itu adalah berkembangnya budaya tulis di tengah masyarakat dan kita akan sama-sama berkata: “Siapa bilang menulis itu sulit?”
Terakhir penulis mohon maaf jika pembaca merasa tertipu dengan membaca judul tulisan ini “Jurus Ampuh Agar Siswa Pintar Menulis Resensi”. Judul tersebut memang sengaja penulis buat seperti itu tidak lain agar pembaca penasaran, sebenarnya jurus apa sih yang akan diwariskan dari tulisan ini? Baiklah, sebagai permintaan maaf penulis akan mewariskan jurus tersebut. Hanya ada tiga jurus di dunia ini yang paling ampuh agar siswa pandai menulis resensi. Yang pertama, membaca. Yang kedua, membaca. Dan yang ketiga, membaca. Jadi, selamat membaca!

*) M. Haninul Fuad adalah Guru SMA Terbuka Mamba’unnur Gading Bululawang Malang, Penggagas kelompok diskusi “Taman Baca” Malang.

Sastra yang Menjelajah “Dunia” Tuhan


Judul Buku: Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas
Penulis: Abdul Hadi W. M.
Penerbit: Mahatari, Yogyakarta
Tahun Terbit: Cetakan I, Agustus 2004
Tebal: viii + 307 halaman (termasuk indeks)
Peresensi: M. Haninul Fuad*)

Sastra transendental yang sempat “heboh” pada tahun 70-an, kini mulai jarang dibicarakan orang. Sastrawan sendiri, mulai tampak acuh bahkan melupakan “spesies” sastra yang sempat menjadi primadona dengan segala ekstase, kerinduan, juga cinta pada Tuhan sebagai “objek” sastra transendental.
Fenomena ini dapat dipandang sebagai bentuk kekalahan bersaing sastra transendental dengan sastra kelamin yang saat ini sedang menuju puncak (meminjam istilah AFI Indosiar). Dalam dunia yang serba kapitalistis seperti saat ini, “barang dagang” (sastra) akan menjadi komoditas utama mana kala barang tersebut memiliki banyak permintaan dari konsumen. Faktanya, sastra kelamin (sastra yang mengusung seksualitas) kini sedang digandrungi banyak orang. Polemik bermunculan tidak hanya di media-media nasional. Media yang sifatnya terbatas seperti buletin dan selebaran juga ramai memperbincangkannya. Tidak salah kemudian jika kita berkesimpulan bahwa sastra kelamin sedang naik daun, sementara sastra transendental yang kelihatannya berbeda jenis “kelamin” mulai di acuhkan oleh sastrawan.
Abdul Hadi Widji Muthari atau lebih di kenal dengan Abdul Hadi W. M. Adalah salah satu aktor angkatan 70-an. Track record-nya pada sastra transendental tidak dapat disangsikan begitu saja. Ulasannya terhadap karya Hamzah Fansuri (sastrawan Indonesia), dan sastrawan-sastrawan lain seperti Mohammad Iqbal, Jalaluddin Rumi, Fariduddin Attar, dan yang lain, memperkaya khasanah kesusastraan Indonesia. Lebih khusus, jasa Abdul Hadi ini memperkokoh berdirinya pilar sastra transendental.
Sebagai sastrawan yang juga akademisi, sastrawan kelahiran Madura ini, tampak memiliki perangkat apresiasi yang lengkap terhadap karya sastra khususnya sastra transendental. Hanya saja, produk tulisannya dalam buku “Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas: Esai-esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa” bergaya ilmiah. Untuk dapat dengan sukses membacanya pembaca dituntut untuk menguasai buku induk yang menjadi rujukan penulis. Paling tidak, pembaca minimal tahu dengan tokoh-tokoh yang dibicarakan sekaligus buah karyanya. Hal ini menjadi kelemahan mendasar dari buku ini mana kala jatuh pada pembaca yang belum banyak tahu tentang karya sastra. Dan, menjadi sesuatu yang berlawanan ketika dipegang oleh sastrawan yang sudah banyak makan garam dalam lingkup sastra transendental. Bagi mereka, buku ini dapat mengobati dahaga akan sastra transendental.
Tokoh angkatan 70-an yang lain, Kuntowijo, dalam makalahnya pada temu sastrawan 1982 di Taman Ismail Marzuki (TIM) mengatakan, “Saya kira kita memerlukan juga sebuah sastra transendental. Oleh karena tampak aktualitas tidak dicetak oleh ruh kita, tetapi dikemas oleh pabrik, birokrasi, kelas sosial dan kekuasaan, maka kita tidak menemukan wajah kita yang otentik. Kita terikat pada yang semata-mata konkrit dan empiris yang dapat ditangkap oleh indra kita. Kesaksian kita kepada aktualitas dan sastra adalah kesaksian lahiriah- jadi sangat terbatas. Maka pertama-tama kita harus membebaskan diri dari aktualitas, dan kedua, membebaskan diri dari peralatan inderawi”.
Dari pernyataan Kuntowijoyo di atas, tercermin betapa pentingnya sastra transendental atau unsur transendensi itu sendiri bagi kehidupan manusia. Hidup di zaman yang serba modern seperti saat ini, orang lebih condong pada akal dan pikiran dalam menyelesaikan soal-soal kehidupannya. Apakah sastra transendental mengabaikan akal? Ternyata justru tidak. Syah Nikmatullah Wali, seorang sastrawan sufi, menerangkan bahwa akal dan cinta merupakan dua sayap dari burung yang sama, yaitu jiwa. Katanya:
Akal dipakai untuk memahami
Keadaan manusia selaku hamba-Nya
Cinta untuk mencapai kesaksian
Bahwa Tuhan itu satu
Pernyataan ini jelas menunjukkan bahwa sastra transendental tidak memandang sebelah mata akan eksistensi akal (halaman 138).
Dalam sastra transendental sendiri, Hadi melihat kelemahan yang sangat mendasar: “gersangnya” teori sastra yang berkembang dalam tradisi atau istiadat Islam. Selama ini, karya sastrawan muslim baik yang lama maupun yang baru, dikaji dengan menggunakan kaidah barat. “Teori-teori tersebut bukan tidak baik, tetapi sudah pasti didasarkan pada pandangan hidup (worldview) yang berkembang dalam istiadat kecendikiawanan Barat” (halaman 61).
Sebagai akibat dari kelemahan tersebut, karya sastrawan muslim lebih banyak yang tersisih dan dianggap kuno. Yang kemudian, kaum muslim pada saat sekarang merasa asing dengan karya-karya tersebut. Masyarakat Islam lebih mengenal Chairil Anwar daripada Hamzah Fansuri. Kita bisa saja berdalih hal ini dikarenakan perbedaan waktu antara Chairil dan Hamzah Fansuri. Tetapi, bukankah karya (sastra) yang baik adalah yang tetap hidup sepanjang zaman?
Sebenarnya, sastra transendental, sastra yang menjelajah dunia Tuhan, memiliki kans yang sangat besar dalam merebut hati manusia. Segala pertanyaan yang tidak terjawab oleh sains (akal) sebagian besar jawabannya ada pada daerah transendental. Karena manusia butuh jawaban ini, mau tidak mau, se-ateis apapun manusia itu akan lari menuju Tuhan.
Penerbitan buku “Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas” oleh penerbit Mahatari pada masa sastra kelamin seperti saat ini dapat dipandang sebagai langkah yang berani. Semua ini tidak terlepas dari upaya pelestarian sastra transendental yang sudah mulai menjadi “barang antik”.

*) M. Haninul Fuad adalah Finalis Lomba Mengulas Karya Sastra (LMKS) 2004

Indonesia dalam Bingkai Kecil Politik


Judul Buku : Merebut Hati Rakyat Melalui Nasionalisme, Demokrasi, dan Pembangunan Ekonomi
Penulis : Aburizal Bakrie
Penerbit : Primamedia Pustaka, Jakarta
Tahun Terbit : Cetakan I, November 2004
Tebal : ix + 365 halaman
Peresensi : M. Haninul Fuad*)

Aburizal Bakrie, atau biasa dipanggil Bung Ical, selama ini dikenal sebagai ekonom, dan juga pengusaha yang ulet. Sepak terjanggnya dalam bidang ekonomi memang sudah terbukti tangguh. Ini bisa kita lihat dari kepiawaiannya menjalankan kelompok usaha “Bakrie”. Menghadapi gelombang krisis moneter yang kemudian meluas menjadi krisis ekonomi dan krisis-krisis lainnya, kelompok usaha “Bakrie” mampu bertahan bahkan melejit, melesat meninggalkan kelompok usaha lain yang merangkak dalam gerusan krisis. Semua ini tidak lepas dari campur tangan Bung Ical. Namun, bagaimana jadinya kalau Bung Ical yang ekonom sekaligus politikus dari partai golkar itu menuangkan ide-ide segarnya dalam bentuk buku?
Buku “Merebut Hati Rakyat Melalui Nasionalisme, Demokrasi, dan Pembangunan Ekonomi” (MHR) merupakan bunga rampai pemikiran Bung Ical yang terdiri atas 47 esai yang sebagian besar pernah disampaikan dalam seminar-seminar di dalam negeri. Tulisan dalam buku ini, sebagian juga merupakan “rekomendasi” Bung Ical kepada partai Golkar dalam merebut hati rakyat pada even pesta demokrasi (pemilu) yang diselenggarakan di negeri ini. Hal ini bisa dimaklumi, karena penulis buku ini yang sekarang menjadi menteri ekonomi kabinet “Indonesia Bersatu” adalah kader partai berlambang pohon beringin tersebut.
Dipandang dengan pikiran positif, gagasan penulis yang dituangkan dalam buku ini, tidak lagi menjadi “rekomendasi” untuk mendapatkan suara sebanyak-banyaknya pada partai tempat penulis melakukan aktivitas politiknya, melainkan menjadi semacam sumbangan pemikiran, urun rembug, atas kondisi bangsa yang terpuruk akibat krisis ekonomi.
Namun begitu, karena buku ini sebagian berisi esai pada acara intern partai, acara peningkatan kualitas kader partai misalnya, akhirnya membawa buku ini pada “bingkai” kecil politik dalam memandang Indonesia yang begitu luas. Indikasi buku ini berbau politik, pertama terlihat pada judul yang lumayan “profokatif”: Merebut Hati Rakyat. Yang kedua, isi buku berupa tulisan yang diperuntukkan bagi acara intern sebuah partai. Dan, yang ketiga, kapasitas penulis yang merupakan kader partai. Semua ini menjadikan buku MHR dengan segala kelebihannya, menjadi sebuah “bingkai” kecil untuk potret Bangsa Indonesia.
Pada bagian pertama buku ini, “Globalisasi Ekonomi”, penulis mengangkat isu ekonomi yang sempat membuat sebagian masyarakat Indonesia ketakutan. Ketakutan pada globalisasi dan perdagangan bebas mungkin sangat beralasan. Kita tahu sebagian besar masyarakat Indonesia memiliki sumber daya manusia (SDM) yang kurang memadai untuk bersaing dengan masyarakat lain di dunia. Dari sinilah sumber ketakutan pada globalisasi tersebut, yang kemudian meluas menjadi gerakan anti globalisasi.
Bung Ical merupakan sosok yang pro-globalisasi. Ini bisa kita lihat dari pandangannya terhadap globalisasi, bahwa globalisasi bukanlah sebuah ancaman, melainkan sebuah peluang. “Globalization is not a threat, but an oportunity” (halaman 5). Kesadaran inilah yang mencipta energi bagi perubahan dalam bidang ekonomi. Ketakutan tidak bisa bersaing akan segera terkikis, karena yang datang (baca: globalisasi) adalah “sahabat” yang harus kita sambut dengan sebaik-baiknya.
Menghadapi arus globalisasi, satu hal yang tidak boleh terlupakan oleh setiap warga negara, bahwa sudah menjadi kewajiban bagi warga negara untuk memikirkan bagaimana nasib bangsanya ke depan dan bagaimana bangsanya bisa mengungguli bangsa-bangsa lain dalam segala aspek kehidupan (halaman 9). Dan, tampaknya pemikiran inilah yang menjadi landasan Bung Ical, menyambut baik globalisasi, khususnya dalam bidang ekonomi. Memanfaatkan persaingan mendunia untuk menunjukkan citra bangsa di hadapan bangsa-bangsa lain.
Untuk menjadi bangsa yang berdaya saing tinggi tentulah tidak mudah. Diperlukan program-program ekonomi yang jitu, yang bertumpu pada beberapa hal, yang pertama, kontinuitas kebijakan ekonomi makro yang stabil dan prudent (hati-hati). Yang kedua, perluasan basis perekonomian kita sebagai sistem yang terbuka terhadap dunia luar. Ketiga, pelembagaan hak-hak kepemilikan pribadi. Keempat, penegasan kembali akan perlunya peran negara dan pemerintah yang efektif dalam sistem perekonomian. Kelima, penciptaan kebijakan yang efektif untuk mendorong pemerataan ekonomi. Keenam, penajaman prioritas dan konsepsi sistem pendidikan. Dan yang ketujuh, perluasan daya dukung teknologi dalam proses kompetisi ekonomi (halaman 259).
Selain masalah globalisasi dan masa depan perekonomian, dalam buku ini dibicarakan juga masalah nasionalisme dan demokrasi. Isu otonomi daerah, jika dipandang dengan sebelah mata akan membawa kita pada kotak-kotak kecil kedaerahan. Dari sinilah wacana nasionalisme menjadi penting untuk disebarluaskan. Kita tahu, selain bangsa ini menderita “penyakit ekonomi” atau kemelaratan, Indonesia juga diterpa bencana perpecahan.
Menghadapi masalah perpecahan, langkah merumuskan kembali konsepsi ke-Indonesia-an harus segera kita lakukan. Dalam hal ini kita bisa belajar dari kearifan-kearifan masa lalu dari kaum pelopor gerakan kebangsaan kita dan memperkayanya dengan gagasan-gagasan baru yang muncul seiring dengan terjadinya berbagai perubahan dalam masyarakat (halaman 255).
Bagian akhir buku ini yang diberi judul “Humaniora” merupakan bagian yang lain dari badian-bagian sebelumnya. Bagian ini memuat dua tulisan, “Membangun Sebuah Tradisi” dan “History is Moved by Dreams, Hopes, and Ideas”. Pada bagian ini, Bung Ical memberikan tanda seru pada upaya menghargai gagasan. Salah satu bentuk dari upaya tersebut adalah dengan memberikan penghargaan bagi seseorang yang “menonjol” dalam hal intelektual.
Ada keterkaitan yang erat antara dunia gagasan dengan kemerdekaan yang sedang kita nikmati saat ini. Kemerdekaan yang dirintis oleh para pendiri republik kita bermula dari dunia gagasan. Kemerdekaan pada dasarnya adalah sebuah ide dan lewat perjuangan politik selama puluhan tahun kemudian diwujudkan menjadi kenyataan (halaman 352).
Secara keseluruhan, buku setebal 365 halaman ini memang membicarakan berbagai macam masalah bangsa. Tapi, kapasitas penulis sebagai seorang pengusaha dan ekonom tampak mendominasi buku ini. Solusi-solusi yang ditawarkan buku ini berangkat dari permasalahan ekonomi, yang mungkin menjadi perlu untuk disimak dan ditunggu realisasinya setelah penulis menduduki jabatan penting dalam pemerintahan sebagai menteri perekonomian. Selamat membaca dan menyelami pemikiran Bung Ical!

*) penulis adalah Penulis Lepas, sedang melanjutkan studi di Universitas Negeri Malang

Rabu, 04 Juni 2008

SEKSPLORASI DAN SASTRA KELAMIN


Judul buku : Jangan Main-Main (dengan kelaminmu)

Penulis : Djenar Maesa Ayu

Penerbit : Gramedia, Jakarta

Tahun Terbit : Cetakan I, Januari 2004

Tebal : xxvii + 122 halaman

Peresensi : M. Haninul Fuad



Pembicaraan seputar seks (kelamin) seperti tidak ada surutnya. Mulai dari gosip sampai analisis fakta, masalah seks menempati rating yang cukup tinggi. Dalam dunia akademik juga tidak sepi pembicaraan seputar seks. Contoh yang membuat kita prihatin adalah kasus pembuatan VCD porno oleh oknum mahasiswa. Seks memang benar-benar dahsyat!!

Dalam dunia perbukuan kita seks menunjukkan eksistensinya. Buku-buku yang berkelamin buku yang mengeksplorasi seks, berhamburan membanjiri toko-toko buku. Untuk menyebut beberapa judul, Jakarta Under Cover I dan II, Kamasutra, Seks in the Kost, Pemerkosaan Atas Nama Cinta, dan jangan Main-main (dengan Kelaminmu).Yang terakhir inilah yang akan saya bicarakan di sini, dengan pertimbangan penulisnya (Djenar Maesa Ayu) adalah perempuan, cantik, dan yang jelas punya kelamin untuk dibicarakan.


Dunia sastra yang merupakan subset (himpunan bagian) dari integralitas hidup, terserang juga oleh wabah seks. Dekade 80-an Gunawan Mohammad menulis Seks, Sastra, Kita . Kemudian angkatan 2000 yang diwakili oleh Ayu Utami membuat kejutan dengan seksplorasi dalam kesastraan. Tak urung Ayu ditahbiskan sebagai pembaharu dunia sastra (angkatan 2000, Korie Layun Rampan). Kemudian, awal 2004 ini Djenar Maesa Ayu muncul lagi untuk menggairahkan dunia sastra lewat Jangan Main-main (dengan kelaminmu) . Sebuah kumpulan cerpen yang lebih dari 80% mengungkap masalah kelamin.

Berikut pengakuan jujur Djenar: Saya hairan, selama lima tahun kami menjalin hubungan, tidak sekalipun terlintas di kepala saya tentang pernikahan. Tapi jika dikatakan hubungan kami ini hanya main-main, apalagi hanya sebatas hasrat seksual, dengan tegas saya akan menolak. Saya sangat tahu aturan main. Bagi wanita secantik saya, hanya dibutuhkan beberapa jam untuk bermain-main, mulai main mata hingga main kelamin. Bayangkan! Berapa banyak main-main yang bisa saya lakukan dalam lima tahun? (Jangan main-main dengan kelamin, 2004:2).

Saya fikir, apa yang diungkapkan Djenar adalah tamparan telak pada norma yang selama ini memnganggap masalah seks sebagai sesuatu yang tabu untuk dibicarakan, apalagi dibukukan. Dan orang boleh saja menyimpulkan langkah Djenar ini sebagai langkah yang berani. Saking beraninya, langkah ini kita ungkapkan sebagai virginitas, tapi yang klise. Karena, jauh sebelun Djenar, orang sudah banyak yang bermain kelamin.

Satu lagi, Djenar menampar muka kita lewat Menyusu Ayah. Nama saya Nayla. Saya perempuan, tapi saya tidak lebih lemah dari laki-laki. Karena saya tidak menghisap putting payudara Ibu. Saya menghisap penis ayah. Dan saya tidak menyedot air susu Ibu. Saya menyedot air mani ayah

Ungkapan jujur dan apa adanya (baca: ngeres) ini, menjadi nilai lebih kumpulan cerpen Djenar. Lebih baik dan lebih buruk menurut saya sama saja, sama-sama lebih. Begitu juga untuk buku-buku lain yang sama-sama memiliki kelamin.

Berbicara kelamin dalam dunia sastra, kita akan terbawa pada ambivalensi etika dan estetika. Disinilah sejatinya letak permasalahan sastra kelamin. Apakah yang ditulis Djenar sebatas seksplorasi ataukah sebuah aliran baru dunia sastra (sastra kelamin)? Pertanyaan ini akan terjawab dengan membaca 2-3 kali kumpulan cerpen ini.

Pembaca akan dibawa pada virginitas seorang Djenar. Gaya repetitif yang tergambar jelas pada Jangan Main-main (dengan kelaminmu) merupakan bentuk pengungkapan yang mengasyikkan. Sebuah masalah diulang pengungkapannya oleh empat orang dengan sudut pandangnya masing-masing. Cerita-cerita lain juga mengunakan gaya repetitif, hanya saja yang paling kental ada pada Jangan Main-main (dengan kelaminmu) .

Selain masalah kelamin, kumpulan ini juga memuat tema-tema seperti moral, dan masalah humaniora yang lain. Bahasa eksperimental yang mendukung menjadikan buku kumpulan cerpen ini enak dibaca siapa saja. Baik dari kalangan yang berkecimpung secara serius dalam kesusastraan sebagai kajian maupun yang sekedar easy going.

Pada hemat saya, seksplorasi dalam dunia sastra, tidak hanya menciptakan aliran baru (sastera kelamin), tapi konsistensi seorang Djenar yang terus menerus akan menjadikan orang gamang dalam memaknai hidup. Orang akan bertanya-tanya Benarkah hidup ini untuk kelamin?

Mereka Menyebutku Waria


Judul Buku: Perempuan Tanpa V
Penulis: Merlyn Sopjan
Penerbit: Galang Press, Yogyakarta
Tahun Terbit: Cetakan I, 2006
Tebal: 124 Halaman
Peresensi: M. Haninul Fuad*)


Aku adalah perempuan. Perempuan dalam jiwa. Ragaku laki-laki. Dan aku tetap merasa perempuan. Tak ada yang salah. Yang salah cuma orang tidak melihatku lebih dalam. Mereka hanya melihat ragaku. Mereka hanya melihat yang terlihat. Mereka tak mau tahu lebih jauh. Aku adalah perempuan. Perempuan tanpa vagina (halaman 49).

Hidup adalah sebuah eksistensi, kata Merlyn. Dalam pengembangannya, orang yang hidup harus melaksanakan tugas-tugas kehidupan yang dibebankan di pundaknya. Jadi, sangat naif sekali jika ada orang menilai orang lain hanya sebatas masalah kelamin. Apakah hidup Cuma bertumpu pada sebuah kelamin? . Jawabnya: tentu saja tidak! Pasti ada sesuatu yang salah dari cara pandang masyarakat kita.

Apa yang disampaikan Merlyn sebenarnya bertolak dari fenomena marginalisasi kaum waria. Selama ini, masyarakat Indonesia masih belum bisa menerima Waria sebagai sosok yang utuh. Seperti yang dialami Merlyn beberapa kesempatan yang lalu, ketika ia menggunakan hak politiknya sebagai warga negara, untuk mencalonkan diri sebagai Walikota Malang. Banyak orang mempertanyakan, bahkan menertawakan pencalonan Merlyn sebagai Walikota oleh sebuah partai politik.

Dalam formulir pendaftaran, jenis kelamin ditulis apa? itulah pertanyaan yang sempat menyudutkan Merlyn dan kaum Waria pada umumnya dalam dunia politik. Karena, jenis kelamin hanya ada dua macam: laki-laki dan perempuan. Tidak ada jenis kelamin waria atau laki-laki sekaligus perempuan. Untung saja, dengan sosok smart-nya, Merlyn dapat mengatasi permasalahan itu. Bahkan ia berbalik menghantam dengan sebuah pertanyaan, Apa kita akan menjalankan tugas-tugas walikota dengan kelamin? . Waktu itu, Merlyn memang tidak terpilih menjadi walikota. Andaikan terpilih, tentu orang-orang yang menertawakan langkah Merlyn itu akan tercengang, dengan ekspresi wajah yang tidak bisa kita bayangkan.

Buku Perempuan Tanpa V memuat tiga bagian penting. Bagian I Aku adalah ungkapan kegelisahan Merlyn sebagai sosok yang dipandang tidak utuh oleh masyarakat. Perasaan wanita pada tubuh lelakinya dipandang orang sebagai sebuah kegilaan. Disinilah Merlyn mengajukan beberapa protes keras. Dalam sebuah tulisannya ia mengungkapkan:
Orang bilang Tuhan hanya menciptakan laki-laki dan perempuan. Tak ada yang lain. Tak ada orang seperti aku. Tapi mereka lupa. Aku merasa perempuan. Dan yang menyebutku waria adalah mereka. Tuhan memang hanya menciptakan perempuan dan laki-laki. Dan aku adalah perempuan. Perempuan tanpa vagina (halaman 50).

Bagian II Cinta merupakan reportase percintaan seorang waria yang lebih mirip sebagai parodi. Lagi-lagi, dengan logika hitam-putih masyarakat mengadili percintaan tersebut sebagai sesuatu yang tidak masuk akal: bagaimana mungkin seorang lelaki bercinta dengan lelaki? Dari sudut pandang Merlyn tentu percintaannya tersebut adalah sesuatu yang sangat wajar dan mestinya terjadi. Sebab, dia adalah wanita meskipun tanpa vagina.

Pada bagian yang terakhir Hidup , Merlyn mencoba bernarasi tentang kemanusiaan.. Tak luput juga masalah yang sedang hangat seputar UU anti pornografi diuangkapnya dengan bernas. Rupanya, aktivitasnya sebagai seorang social worker mempertajam cara pandangnya terhadap hidup. Mestinya, pada pencapaian inilah kita menilai sosok Merlyn. Bukan pada ada atau tidak adanya vagina.

Buku ini secara tidak langsung menjadi bentuk protes penulis terhadap perlakuan miring masyarakat terhadap waria. Image waria sebagai pekerja seks jalanan yang selama ini melekat dalam benak masyarakat yang kemudian berakibat pada perlakuan tidak adil tersebut, sedikit demi sedikit dikikis oleh Merlyn. Sungguh, buku ini memberikan titik pandang baru kepada kita dalam memperlakukan waria sebagai sosok yang utuh dan apa adanya.

Jujur, membaca buku ini muka kemanusiaan saya merasa tertampar. Tidak sakit! Karena tamparan itu dapat saya terjemahkan sebagai cinta. Selamat membaca, dan setubuhi pikiran perempuan tanpa vagina itu! Barangkali anda akan mendapat kepuasan yang belum pernah anda dapatkan.

Memutus Mata Rantai Patriarki


Judul buku : Batu Sandung
Penulis : Ratna Indraswari Ibrahim
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Edisi : Cetakan I, Pebruari 2007
Peresensi : M. Haninul Fuad*)

Bagi perempuan, hidup di negara yang terlanjur menganut ideologi patriarki sungguh dilematis. Di satu sisi ingin dipandang sebagai manusia yang utuh, lengkap dengan segala hak dan kewajibannya sebagai manusia merdeka, di sisi lain mereka mesti mengabdikan diri sebagai bentuk ketundukan terhadap kebudayaan. Menentang kebudayaan berarti menyatakan perang dan mengklaim diri sebagai penghianat. Sayangnya, kebanyakan dari perempuan Indonesia lebih memilih untuk menjadi budak kebudayaan ketimbang memperjuangkan hak-hak perempuannya.

Ratna Indraswari Ibrahim, melalui kumpulan Neveletnya "Batu Sandung" mencoba untuk memutus mata rantai budaya patriarki. Ratna seakan mengajak kaum perempuan Indonesia untuk memahami diri mereka sebagai manusia yang merdeka.
Kumpulan novelet ini terbagi dalam tiga bagian, "Batu Sandung" yang menjadi judul kumpulan ini, "Garis Ibu", dan "Hari-hari yang tercecer". Batu sandung lebih tepat kita sebut otobiografi dari penulisnya. Ratna sadar benar bahwa kondisi tubuhnya yang cacat akan memperburuk hubungan sosialnya. "Bila saya telusuri, hidup ini sebetulnya seluruhnya adalah tragedi. Mungkin kedengarannya aneh bahwa kecacatan terkadang bisa jadi sahabat yang pas buat saya. Dengan asyiknya saya bisa bermain dengan waktu, tanpa kontak dengan orang lain." (halaman 12).

Gugatan Ratna pada budaya Patriarki terungkap secara eksplisit pada bagian "hari-hari yang Tercecer". Pada bagian terakhir kumpulan noveletnya ini Ratna sukses mendeskripsikan perkawinan bangsa timur yang suami sentris. Dalam perkawinan yang seperti ini wanita seringkali menjadi obyek ketimbang menjadi subyek yang utuh. Maya, tokoh utama dalam kisah ini sudah dua puluh tahun menerima perlakuan Bono, dengan tidak adil. Dalam pandangan wanita barat, perlakuan suami bangsa Timur dengan ideologi patriarkinya jelas sesuatu yang tidak masuk akal. Bagaimana mungkin wanita diperlakukan sebegitu rendahnya? Kalau wanita diciptakan hanya untuk "dipelihara", apa bedanya dengan hewan peliharaan?

"Dua puluh tahun bukan waktu yang pendek untuk mengiyakan seluruh ucapanmu. Kau kira selama menjadi istri, saya bahagia? Tidak! Setiap malam saya sulit tidur dan suka gugup kalau ingin mengeluarkan pikiran" begitulah gambaran percakapan Maya dengan Bono. Mungkin kita merasa cerita ini hanya dibuat-buat atau dilebihkan. Kalau kita beranggapan seperti itu, kemungkinannya ada dua. yang pertama, kita sudah hidup dalam keluarga yang sangat demokratis sehingga kita merasa yang diceritakan oleh Ratna tersebut adalah kisah fiktif. Kemungkinan yang kedua, diam-diam kita telah melakukan pembenaran terhadap budaya patriarki sehingga wajar kalau ruang gerak wanita hanya dibatasi pada dapur, sumur, dan kasur.

Senin, 05 Mei 2008

Menulis di Media Massa itu Tidak Sulit!

Oleh: M. Haninul Fuad

“Sejak dulu saya yakin bahwa kalau saya melempar sekumpulan kata-kata ke angkasa, semuanya akan jatuh kembali dalam susunan yang benar”
Truman Capote

Ada sebuah hitungan matematis yang dapat menggairahkan dunia tulis-menulis: misalkan seorang penulis dalam satu minggu dapat menghasilkan tiga tulisan yang dimuat di media nasional. Maka, dalam satu bulan penulis tersebut berkarya sebanyak 12 tulisan (artikel). Honor per tulisan di media nasional berkisar antara Rp. 200.000 sampai Rp. 600.000. Misalkan kita ambil tengah-tengahnya (Rp. 400.000) untuk honorarium setiap artikel, maka penghasilan penulis perbulannya Rp. 4.800.000. Angka ini merupakan pendapatan yang cukup besar untuk ukuran orang Indonesia. Bahkan, angka ini melebihi gaji seorang profesor di perguruan tinggi. Sungguh angka yang tidak mengecewakan!
Tapi, untuk menjadi penulis profesional banyak hal yang perlu disiapkan. Diawal tulisan ini, sengaja saya mengutip pernyataan Truman Capote. Saya tidak tahu siapa Truman Capote. Apakah dia seorang penulis hebat? Yang jelas, pernyataannya mengisyaratkan kalau menulis itu adalah pekerjaan yang sangat mudah. Mengapa tidak setiap orang bisa menulis? Pertanyaan inilah yang membawa saya pada suatu kesimpulan bahwa untuk menjadi penulis memang perlu memperhatikan beberapa kata kunci.
Dunia tulis-menulis tidak dapat dipisahkan dengan ide dan orisinilitas. Modal dasar seorang penulis adalah “kepekaan” dan “sikap kritis” berhadapan dengan teks kehidupan, entah teks tertulis maupun teks yang tidak tertulis. Dari sini penulis mendapat ide dan inspirasi, lantas mengelolanya menjadi karya tulis. Penuangan ide menjadi karya tulis menuntut ketreampilan dan melalui proses yang terus menerus (kontinu). Menulis adalah proses latihan dan mencoba terus menerus. Kemampuan menulis ibarat mata pisau, agar tidak berkarat mata pisau harus dipakai dan diasah terus menerus.
Selain proses yang terus menerus, seorang penulis pemula diberikan kebebasan untuk belajar pada penulis tenar yang ia kehendaki. Kita dapat belajar dari penulis tenar seperti: Karl Marx, Sigmund Freud, Soedjatmoko, Pramudya Ananta Toer, Goenawan Mohammad, William lidle, Abdurrahman wahid, Nue Cholish Madjid, Jalaludin Rachmat, Jaya Suprana, Putu Wijaya, Emha Ainun Nadjib, dan penulis-penulis hebat lainnya. Namun begitu, langkah ini harus dijauhkan dari tindak plagiasi. Hakim menambahkan, seorang penulis yang berorientasi pada nama besar dan honorarium serta imbalan sebanyak-banyaknya tidak akan menjadi penulis besar dan berpengaruh.
Selain ide yang baru dan orisinilitas tulisan, seorang penulus pemula yang ingin tulisannya dimuat di media massa harus memperhatikan betul karakter media yang ingin dituju. Kita mesti rajin memantau kecenderungan artikel di media tersebut. Meskipun sama-sama bernama artikel, kadang ada nuansa perbedaan antara satu media massa dengan media massa yang lainnya. Perbedaan itu misalnya dalam hal panjang pendeknya, dalam hal pilihan temanya, dalam hal selera penuangan serta ungkapan bahasanya, dalam hal ide dan gagasannya, dan lain-lain.

Kisah di sekolah
Masih melekat dalam ingatan saya, delapan tahun yang lalu saya mengenakan seragam abu abu- putih. Orang bilang, saya beranjak dewasa. Saya tidak tahu pasti apa makna kedewasaan. Yang jelas waktu itu saya suka sendiri menulis puisi. Biarlah orang bilang saya pemuda cengeng. Yang pasti, dengan menulis puisi saya mendapatkan sesuatu yang tidak mungkin didapat orang lain. Dengan menulis, dari segi materi, saya memang merugi. Karena karya-karya itu hanya saya nikmati sendiri, dan tidak pernah menghasilkan uang. Bahkan, waktu untuk mengerjakan PR dari Bapak-Ibu guru sering melayang begitu saja untuk menulis. Saya tidak tahu sudah berapa rupiah jika waktu yang saya gunakan untuk menulis itu diuangkan. Dan, anehnya saya tidak pernah merasa rugi.
Tiga tahun di SMA saya habiskan tanpa ada sesuatu yang istimewa. Setiap hari saya datang ke sekolah, pulang, kadang main ke rumah teman, dan esoknya saya kembali lagi ke sekolah. Rutinitas itu kadang terasa menjemukan. Tapi saya tahu, memang begitulah sekolah. Duduk manis mendengarkan pelajaran, mencatat hal-hal yang menurut saya penting, jika tidak tahu mengacungkan tangan bertanya pada guru. Saya tidak pernah membayangkan suatu saat nanti saya akan jadi penulis.
Suatu hari saya berjalan sendirian di pinggir jalan dekat pasar. Ada pedagang yang sepi pembeli menggelar dagangannya. Maklum, dagangan itu memang tidak terlalu penting untuk dibeli. Buku loakan yang sebagian mengeluarkan bau tak sedap, mana mungkin menjadi komoditi yang dicari orang. Diam-dian hati saya tertarik pada benda rongsokan itu. Saya lihat buku bersampul kuning judulnya “Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45” karya H. B. Jassin. Disebelahnya, buku bersampul hijau dengan tulisan besar-besar “Pengajaran Gaya Bahasa” karya Henri Guntur Tarigan. Dua buku itu harganya seribu. Apalah artinya uang seribu. Kubeli buku itu tanpa tawar-menawar.
Kecintaan saya pada dunia sastra semakin meningkat. Tapi, di sekolah saya malah memilih jurusan IPA. Jadi, kalau sekarang saya bisa menulis, semua itu saya dapat secara otodidak. Saya percaya kalau buku itu sumber ilmu. Dengan membacanya kita akan kaya dengan sendirinya.
Pernah saya memutuskan untuk aktif dalam ekstra jurnalistik di sekolah saya. Saya ingin minat saya dalam dunia tulis menulis tersalurkan dengan baik. Kadang saya merasa iri dengan teman saya yang tulisannya nongol di majalah sekolah (majalah KHARISMA). Tapi, semua keinginan saya itu tidak pernah kesampaian. Saya tetap menulis untuk diri saya sendiri dan tidak pernah dipublikasikan. Kalaupun ada orang lain yang membaca tulisannya saya itu sebatas teman dekat dan orang-orang tercinta. Pendek cerita tulisannya saya belum ada yang dipublikasikan di media massa. Bahkan, mimpi untuk menjadi penulis pun belum terbayang dalam benak saya.
Ketika saya duduk di bangku kuliah, momen terindah dalam hidup saya terjadi. Tulisan saya dimuat dalam tabloid kampus. Saya merasakan kebahagiaan yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya. Ah, benar-benar indah. Disamping itu, saya juga mendapatkan sejumlah uang yang belakangan hari saya tahu kalau setiap tulisan yang dimuat di media massa akan mendapatkan honorarium.
Dan sekarang dunia saya benar-benar berubah. Biaya hidup saya, biaya kuliah, dan biaya-biaya yang lain justru saya dapat dari menulis. Ternyata, menulis yang dulu saya anggap sebagai pekerjaan sia-sia kini berfungsi sebagai “penyambung hidup” saya.
Sesekali saya masih teringat kisah di SMA: saya sering sendiri sambil menulis puisi. Jangan dikira saya bisa menghilangkan kebiasaan saya itu, saat-saat tertentu saya masih suka sendiri sambil menulis. Bukan hanya puisi, sebab hidup ini tidak cukup diselesaikan dengan puisi.

Menulislah sekarang juga!
Paparan dalam tulisan ini barangkali tidak cukup ampuh untuk membangkitkan motifasi menulis Anda. Saya tahu, satu-satunya orang yang dapat memacu semangat anda adalah diri anda sendiri. Satu hal yang perlu digarisbawahi: ketika kita mencoba untuk menunda kegiatan menulis kita, maka selamanya kita tidak akan menulis.
Seperti yang dikatakan Comte, jika kita melempar kata-kata ke angkasa maka kata-kata tersebut akan tersusun dengan sendirinya dalam susunan yang benar. Itu artinya, jika kita dengan sungguh-sungguh menuliskan barang satu kalimat saja maka kalimat tersebut akan menjadi kalimat terindah dalam hidup kita. Saya yakin Anda punya cukup banyak waktu untuk menulis. Maka menulislah sekarang juga, dan rasakan betapa bahagianya hati kita setelah menulis. Anda tidak percaya? Silahkan mencobanya sendiri!

M. Haninul Fuad adalah penggiat Taman Baca, sedang melanjutkan studi di Univ. Negeri Malang