Rabu, 18 Juni 2008

Memetik Hikmah dari Memoar Sang Guru

Judul Buku: Tak sengaja menjadi Guru
Editor: Pearl Rock Kane
Penerbit: MLC (kelompok Mizan), Bandung
Tahun Terbit: Cetakan I, februari 2004
Tebal: 287 halaman
Peresensi: M. Haninul Fuad

Guru, keberadaannya selalu saja menarik untuk dibicarakan. Mulai jasanya yang tidak dapat kita abaikan begitu saja, sampai nasibnya yang tak kunjung membaik. Tak heran kalau hal ini menjadi inspirasi musisi kita (Iwan Fals) untuk menuangkannya dalam sebuah lirik lagu “Oemar Bakrie”.

Buku “Tak Sengaja Menjadi Guru” yang merupakan antologi “memoar” dari para guru di Amerika mengisahkan pengalaman pertama guru berinteraksi dengan para muridnya. Beragam kisah dalam buku ini pantas untuk kita jadikan referensi khususnya bagi para guru. Walhasil, penerbitan buku ini dapat kita sikapi sebagai bentuk kepedulian penerbit terhadap dunia pendidikan kita yang sangat memprihatinkan.

Kita cermati hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC). Menurut survei terkait, sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia. Dari 12 negara yang disurvei oleh lembaga yang berkantor pusat di Hongkong itu, Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta Malaysia. Indonesia menduduki urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam.

Menanggapi kenyataan ini kita bisa saja berapologi dengan mengatakan bahwa pendidikan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik. Suramnya pendidikan nasional sangat terkait dengan keadaan sosial politik (krisis moneter dan konflik) yang memberikan dampak luar biasa (berat) kepada pendidikan. Pada akhirnya persoalan stabilitas dan keamanan menjadi persoalan dasar yang harus segera diselesaikan, sebab pelaksanaan pendidikan butuh rasa aman.

Yang sangat mendesak untuk dipertanyakan dalam masalah ini adalah urutan Indonesia yang nomor 12. Kenapa sistem pendidikan kita cukup berada pada posisi juru kunci? Kita tahu, hampir semua negara di Asia tenggara menderita krisis moneter, kenapa pendidikan di Indonesia yang harus berada pada urutan paling bawah? Dalam keterpurukan ini, tidak ada salahnya jika kita belajar dari Amerika lewat kisah dalam buku yang dieditori oleh Pearl Rock Kene, seorang profesor pendidikan di teachers college, Columbia University.

Terkait dengan masalah ini, buku “Tak sengaja Menjadi Guru” yang berpenampilan menarik, diceritakan oleh para guru dari negeri Paman Syam dengan bahasanya yang “renyah” dan mudah dicerna menjadi penting untuk dibicarakan. Literatur semacam ini perlu diperbanyak, agar kualitas cara penyampaian mata pelajaran kita yang selama ini cenderung konservatif dan behavioristik menjadi membaik dan konstruktivistik. Kita tahu, sudah sejak lama di Amerika menerapkan model pembelajaran yang konstruktivistik. Kita dapat menarih hikmah dari buku ini.

Rosemary Genova DiBatistaseorang pengajar di sebuah SMA di Pusat New Jersey, mengisahkan betapa sulitnya menumbuhkan minat belajar pada seorang murid. Adalah Adrianna, murid “Ms. G” panggilan akrab Adrianna pada Genova, gurunya, yang akan dikisahkan dalam cerita ini. Tidak berlebehan jika “Ms. G” memberi judul kisah ini “Adrianna”, judul yang sama dengan nama muridnya yang bermasalah itu.
Tiap kali diberi nasihat untuk giat belajar agar bisa melanjutkan studi di perguruan tinggi, Adrianna selalu acuh. “Saya hanya ingin lulus SMA, titik!” begitu kata Adrianna, pada “Ms. G” yang mencoba memberi perhatian khusus padanya. Suatu ketika, “Ms. G” menyarankan Adrianna untuk masuk kelas bahasa inggris persiapan ke perguruan tinggi. Tapi, jawabnya selalu sama, dia hanya ingin lulis SMA. Akhirnya, Adrianna jadi juga masuk kelas persiapan itu. “Ms. G” tampak senang, barangkali Adrianna benar-benar ingin melanjutkan studinya ke perguruan tinggi.

Apa yang dibayangkan oleh “Ms. G” ternyata salah. Adrianna masuk kelas itu bukan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, ia hanya ingin lulus. “Ms. G” sempat putus asa menghadapi Adrianna. Suatu sore, Adrianna datang pada “Ms. G” ke kantornya dengan membawa tas bayi dan seorang balita. “Ms. G” menyambut Adrianna dengan senang, kemudian menanyakan perihal balita yang dibawa. Alangkah terkejutnya “Ms. G” mendengar cerita Adrianna. Balita itu adalah anak Adrianna. Permasalahannya menjadi jelas sekarang. Rendahnya minat belajar Adrianna karena berbagai tekanan yang ia alami berkaitan dengan keluarganya.

Setelah diskusi panjang antara Adrianna dan “Ms. G”, Adrianna akhirnya memutuskan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi yang dekat dengan tempat pengasuhan anak untuk menitipkan balitanya. Sebagai guru, “Ms. G” telah berhasil mengarahkan muridnya yang penuh masalah, Adrianna.

Kisah lain yang tidak kalah menariknya adlah “ Tertulis di Situ, Aku Sangat Marah pada Bu Anita”. Cerita nyata ini dialami oleh Anita S. Charles, seorang guru pendidikan alternatif sekolah umum di Portland, maine. Setting cerita yang dikisahkan oleh Anita ini tidak terjadi di tempatnya mengajar saat ini (SMU), tetapi di tempat dimana pertama kali ia mengajar. Karier Anita sebagai guru berawal dari sekolah dasar (SD), sebuah sekolah paroki tengah kota di JerseyCity, New Jersry.

Betapa sulitnya seorang Anita yang dipersiapkan untuk mengajar siswa sekolah menengah tetapi harus mengajar di kelas satu sekolah dasar. Selain itu, ia yang berasal dari daerah pedesaan New England, yang tidak tahu apa-apa tentang sekolah di perkotaan, dan belum pernah bertemu dengan seorang suster, harus mengemban tugas mulia ini. Di tempat barunya ini, Anita merasa benar benar asing. Anak-anak yang sibuk dengan aktivitasnya sendiri, menari, berlari kesana kemari, menjerit-jerit histeris, memukuli temannya, itulah pemandangan pertama di kelasnya yang terisi tiga puluh tiga wajah yang belum pernah ia kenal. Nama anak-anak itu, Raneesha, Latisha, Lakeisha, Tyeshia, Marisha, Yajayra, Yasenia, semua asing di telinganya. Mereka berkulit hitam dan keturunan spanyol.

Kedatangan Anita tampaknya kurang disukai oleh murid-muridnya. “Suster Barbara bilang Ibu adalah guru yang baik! Tetapi, kini, aku tidak suka Ibu lagi!” kata salah satu murid yang bernama Pablo ketika dilarang keluar meninggalkan kelas. Pablo kembali duduk di tempatnya sambil meninju meja.

Minggu demi minggu berlalu, Anita ering berteriak sendiri karena tidak tahu lagi cara melepaskan ketegangan yang disebabkan oleh energi luar biasa dari para kurcaci di kelasnya. Satu hal yang dapat menghiburnya adalah saat ia mencemaskan murid-muridnya. “Anak-anak selalu baik,” ujar suster Barbara dengan lembut pada Anita. “Kelakuannyalah yang harus kita tangani, dan besok adalah hari lain.”

Tidak semua permasalahan makhluk-makhluk mungil iti dapat ditangani oleh Anita. Termasuk keangkuhan dan kenakalan Carla. Murid cerdasnya ini sering membuat masalah. Pada akhirnya, Anita memberi Carla sebendel kertas untuk menuliskan perasaannya waktu itu. Seatu ketika carla menyodorkan kertas pada anita. Disitu tertulis dengan huruf cetak: “Aku marah sekali pada Bu Anita,” Anita mengangguk dan berkata, “Ibu mengerti,” dan Carla secara sepontan, mengetahui dia berhasi, memeluk Anita dengan tersenyum.

Kisah-kisah lain dalam buku ini, yang terdiri dari 25 cerita, sayang untuk dilewatkan oleh para “Oemar Bakrie” kita. Hanya saja ada beberapa kesalahan ketik yang cukup menganggu dalam buku ini, seperti pada halaman 96, batita seharusnya balita. Selain itu, ada kalimat yang agaknya kurang pas, “Setelah Adrianna lulus, aku menulisinya surat meminta agar kami tetap saling menghubungi,” (halaman 99). Tanpa mengurangi esensi dari buku, kesalahan teknis seperti itu sedapatnya dihindari oleh penerbit. Selamat membaca, kemudian kita akan sama-sama menikmati bergairahnya dunia pendidikan di Indonesia.
*) M. Haninul Fuad adalah pengajar di Ponpes Mamba’unnur Malang

Tidak ada komentar: