Rabu, 18 Juni 2008

Kegaiban Kata Cerpenis Kita

Judul Buku : Sepi pun Menari di Tepi Hari
Editor : Kenedi Nurhan
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tahun Terbit : Cetakan I, Juni 2004
Tebal : x1i + 180 halaman
Peresensi : M. Haninul Fuad*)

Akulah keluh: Aku akan naik menjulang ke angkasa
Akulah nafas, namun aku meloncat dari api
Meloncat tinggi oleh cita luhur
Penaku melontarkan rahasia tabir segala ini
Dan butir pasir tumbuh meluas
Menjadi padang sahara
(Mohammad Iqbal)

Seorang filsuf eksistensialis Perancis, Jean Paul Sartre, pernah menuliskan bahwa kata adalah hakikat segalanya. Terlepas dari permasalahan benar atau salah pernyataan itu, dalam penulisan cerpen, kemahiran berbahasa adalah modal utama yang harus dimiliki oleh cerpenis. Disamping itu, kemampuan bercerita juga mutlak diperlukan dalam kerja penulisan cerpen.

Sudah menjadi rutinitas, setiap tahun penerbit buku Kompas menerbitkan beberapa karya terbaik para cerpenis kita. Rutinitas ini dapat dipandang sebagai bentuk kepedulian terhadap dunia tulis-menulis khususnya dalam penulisan cerpen. Kita tahu setelah masa keemasan sang maestro cerpen Indinesia, Danarto, dunia cerpen kita seperti kehilangan nafas. Kadang merasa tersengal, lain waktu kita dibuat “asma” lantaran minimnya cerpen yang dapat memberi “pencerahan” pada pembacanya.

Tema dari keenambelas cerpen pilihan Kompas 2004 yang dibukukan dalam “Sepi pun Menari di Tepi Hari” sangat beragam. Tapi, “konflik” antara laki-laki dan perempuan, yang mungkin terlalu naif untuk disebut cinta, mendominasi kumpulan cerpen kali ini.
“Keroncong Cinta” menceritakan betapa gelisahnya hati Madelaine, seorang gadis Belanda yang diam-diam menaruh hati pada Eric Mulyana sang pelantun lagu keroncong asal Indonesia. Suara emas Eric, dikisahkan oleh Madelaine kepada murid-muridnya di taman kanak-kanak, dapat menyulap musim dingin dengan salju yang berguguran menjadi musim semi.

Mendengar cerita seorang pengeran yang tampan dan jika bernyanyi musim dingin tiba-tiba menjadi musim semi, siswa taman kanak-kanak pun kegirangan. Diantara mereka ada yang menginginkan Madelaine untuk menyuruh pangeran Eric segera bernyanyi. “Agar cepat musim semi!” celoteh anak-anak yang mengundang tawa Madelaine. Tapi, tidak dengan hati Madelaine. Kerinduan pada sang pelantun tembang keroncong mulai menggerogoti tubuh dan pikirannya.

Meski Madelaine akhirnya memiliki kekasih bernama Peter, hatinya tampak sulit melupakan kenangan indah bersama Eric. Di akhir cerita, Madelaine kembali lagi ke Indonesia. Ending yang sangat tak terduga, ternyata di Indonesia Madelaine malah merindukan Belanda dan tentu saja Peter.

Cerita lain, “Suatu Hari di Bulan Desember 2002” yang ditulis oleh Sapardi Djoko Damono, mengisahkan sosok Marsiyam. Sapardi tampak begitu mahir bermain dengan kata-kata. Marsiyam, yang mungkin plesetan dari dua nama yaitu Mariam dan Marsinah, menjalani alur hidup yang mirip-mirip dengan dua tokoh terakhir. Penindasan kaum perempuan oleh kaum adam menjadi topik sentral dari cerpen Sapardi yang satu ini.
Penerbitan buku kumpulan cerpen terbaik Kompas secara rutin agaknya dapat kita gunakan sebagai pengobat rindu akan cerpen dengan kata-kata “gaib”, yang dapat meloncat dari dimensi kesadaran menuju dimensi imajinatif yang kita sendiri tidak dapat menyebutkan letaknya di mana. Keindahan gaya bahasa, yang menjadi andalan kumpulan cerpen “Sepi pun Menari di Tepi Hari” akan memperkaya kita akan kosa kata indah. Kita simak bagian awal cerpen “Liang” karya Indra Tranggono.

“Tangis Wasti pecah, pagi itu. Kantong air matanya jebol ditohok kalimat-kalimat runcing mengkilat para tetangganya. Liang matanya terasa perih, sangat perih. Air matanya terlalu banyak mengalir, hampir sepanjang waktu, seperti aliran selokan yang membelah kampung itu” (halaman 129)

“Jaring Laba-laba” karya cerpenis asal Malang dan berkali-kali masuk dalam kumpulan cerpen Kompas, Ratna Indraswari Ibrahim, menyuguhkan kenakalan imajinasi penulisnya. “Alam antara” yang di sajikan Ratna sungguh tampak memukau. Antara benar dan tidak, antara nyata dan khayal, akhirnya membawa pembaca pada masalah percaya atau tidak.
Masih banyak cerpen-cerpen lain dalam kumpulan ini yang menyuguhkan kegaiban kata dari para cerpenis kita. Membaca kumpulan cerpen ini seperti menikmati bunga rampai pemikiran anak negeri. Dan, satu hal yang teramat penting adalah masalah “kegaiban” kata-katanya. Sungguh sangat memukau!

*)M. Haninul Fuad adalah pengulas buku, tinggal di Malang

Tidak ada komentar: