Rabu, 04 Juni 2008

Memutus Mata Rantai Patriarki


Judul buku : Batu Sandung
Penulis : Ratna Indraswari Ibrahim
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Edisi : Cetakan I, Pebruari 2007
Peresensi : M. Haninul Fuad*)

Bagi perempuan, hidup di negara yang terlanjur menganut ideologi patriarki sungguh dilematis. Di satu sisi ingin dipandang sebagai manusia yang utuh, lengkap dengan segala hak dan kewajibannya sebagai manusia merdeka, di sisi lain mereka mesti mengabdikan diri sebagai bentuk ketundukan terhadap kebudayaan. Menentang kebudayaan berarti menyatakan perang dan mengklaim diri sebagai penghianat. Sayangnya, kebanyakan dari perempuan Indonesia lebih memilih untuk menjadi budak kebudayaan ketimbang memperjuangkan hak-hak perempuannya.

Ratna Indraswari Ibrahim, melalui kumpulan Neveletnya "Batu Sandung" mencoba untuk memutus mata rantai budaya patriarki. Ratna seakan mengajak kaum perempuan Indonesia untuk memahami diri mereka sebagai manusia yang merdeka.
Kumpulan novelet ini terbagi dalam tiga bagian, "Batu Sandung" yang menjadi judul kumpulan ini, "Garis Ibu", dan "Hari-hari yang tercecer". Batu sandung lebih tepat kita sebut otobiografi dari penulisnya. Ratna sadar benar bahwa kondisi tubuhnya yang cacat akan memperburuk hubungan sosialnya. "Bila saya telusuri, hidup ini sebetulnya seluruhnya adalah tragedi. Mungkin kedengarannya aneh bahwa kecacatan terkadang bisa jadi sahabat yang pas buat saya. Dengan asyiknya saya bisa bermain dengan waktu, tanpa kontak dengan orang lain." (halaman 12).

Gugatan Ratna pada budaya Patriarki terungkap secara eksplisit pada bagian "hari-hari yang Tercecer". Pada bagian terakhir kumpulan noveletnya ini Ratna sukses mendeskripsikan perkawinan bangsa timur yang suami sentris. Dalam perkawinan yang seperti ini wanita seringkali menjadi obyek ketimbang menjadi subyek yang utuh. Maya, tokoh utama dalam kisah ini sudah dua puluh tahun menerima perlakuan Bono, dengan tidak adil. Dalam pandangan wanita barat, perlakuan suami bangsa Timur dengan ideologi patriarkinya jelas sesuatu yang tidak masuk akal. Bagaimana mungkin wanita diperlakukan sebegitu rendahnya? Kalau wanita diciptakan hanya untuk "dipelihara", apa bedanya dengan hewan peliharaan?

"Dua puluh tahun bukan waktu yang pendek untuk mengiyakan seluruh ucapanmu. Kau kira selama menjadi istri, saya bahagia? Tidak! Setiap malam saya sulit tidur dan suka gugup kalau ingin mengeluarkan pikiran" begitulah gambaran percakapan Maya dengan Bono. Mungkin kita merasa cerita ini hanya dibuat-buat atau dilebihkan. Kalau kita beranggapan seperti itu, kemungkinannya ada dua. yang pertama, kita sudah hidup dalam keluarga yang sangat demokratis sehingga kita merasa yang diceritakan oleh Ratna tersebut adalah kisah fiktif. Kemungkinan yang kedua, diam-diam kita telah melakukan pembenaran terhadap budaya patriarki sehingga wajar kalau ruang gerak wanita hanya dibatasi pada dapur, sumur, dan kasur.

Tidak ada komentar: