Minggu, 27 April 2008

Kepiting

Oleh: M. Haninul Fuad

Tadi malam kepiting itu mengucapkan terima kasih padaku. Memang, aku yang memungut kepiting mati di atas pasir. Kupungut, kulumuri dengan formalin, kemudian kutaruh di atas meja tempatku menulis. Saat cerpen ini kutulis ia masih bercakap-cakap.
Ceritanya, ia merasa muak dengan kehidupan laut yang luas tanpa batas. Terombang ambing oleh ombak yang kadang-kadang membahayakan keselamatan jiwa. Tidak hanya itu, demokrasi laut sempat membuat para kepiting stress. Demokrasi yang dimaksud kepiting adalah bahwa hewan laut yang paling besar makan yang besar. Yang besar makan yang kecil. Yang kecil makan yang paling kecil. Yang paling kecil lebih siap dimakan daripada mencari makan*
Kepiting yang berbadan tidak sebegitu besar tentu saja tidak senang dengan demokrasi itu. Karena, kemana-mana rasanya tidak aman. Bayang-bayang predator selalu saja menghantui.
Pernah suatu ketika kepiting itu berjalan mencari makan. Tiba-tiba saja bayangan hitam besar berkelebat. Kontan kepiting lari terbirit-birit menyusup di celah-celah karang. Sialnya, karang tempat ia berlindung waktu itu tidak bersahabat. Sebagian menimpa satu kaki kirinya hingga putus. Begitu cerita kepiting waktu kutanya: mengapa kakinya berjumlah tujuh?
Ada enaknya kepiting bersamaku. Di sini, ia bisa hidup abadi. Dan, bayang-bayang predator tidak akan muncul. Tapi, ia bercerita, pernah juga predator muncul. Kali ini sungguh aneh. Disini predator itu kecil dan berjalan tidak sebegitu tegap. Dengan sempoyongan predator berusaha meraih kepiting yang berada pada tempat agak tinggi. Hampir kena! Untung saja aku cepat datang dan melarang Refi adikku membanting awetan kepiting. Selamatlah ia dari kehancuran, kenag kepiting yang kusambut dengan senyum. Kemudian tertawa lepas. “Husss!! Nanti kamu disebut gila” saran kepiting padaku.
Dalam kamar yang berukuran 3 kali 3,5 meter ini yang biasa kulakukan adalah tidur. Melulu tidur. Kehadiran kepiting membuatku lebih hidup. Aku bisa bercerita tentang banyak hal. Dan dia juga menceritakan keluh kesahnya menjadi kepiting. Pendek kata kami, aku dan kepiting, telah menjadi dua sahabat yang selalu berbagi. Baik suka maupun disaat duka.
Waktu tidak punya duit misalnya, aku membagi kesedihan itu dengan kepiting. Jawabnya, “nggak usah sedih, nggak punya duit nggak apa-apa, asal jangan berhenti berkarya” termasuk menulis cerpen ini, ini juga atas rekomendasi kepiting. Menurutnya, jika cerpen ini jadi, kemudian dikirim ke redaksi koran nanti akan dapat honor yang besarnya lumayan. “Tapi jangan lupa, nanti kalau dapat honor, pergi ke apotik untuk beli formalin. Agar aku lebih awet lagi” begitu mintanya padaku.
Seperti biasa aku senyum-senyum saja menanggapi kata-kata kepiting yang ceplas-ceplos tanpa dipikir dahulu. Apakah kepiting bisa berfikir? Tanyaku pada kepiting. Ia terdiam, dan kemudian balik bertanya padaku.
“Kamu tahu apa yang baru saja kulakukan?”
“Ya, kamu bingung tidak bisa memikirkan jawaban atas pertanyaanku”
“Salah, kamu, manusia berfikir dengan prasangka buruk pada binatang, khususnya kepiting. Aku diam karena berfikir. Berfikir memecahkan masalah, bukan lari dari masalah yang banyak dilakukan oleh manusia”
Ting (panggilan akrab kepiting), sudahlah. Malam ini aku tidak mau debat denganmu. Aku sekarang lagi stress. Kepalaku pening, dan pingin makan orang. Untung saja kamu kepiting. Aku tidak bernafsu dengan kepiting.
Sesaat diam, kulihat tubuh kepiting perlahan membesar. Bertambah besar, dan besar. Supitnya seperti tangan buldoser menghancurkan rumah waktu penggusuran. Besar dan sangar. Aku jadi takut. Kepiting sahabatku akan menuntut balas. Sebab pernah aku memukul-mukul batok kepalanya. Waktu itu ia diam saja. Mungkin karena tidak mampu membalasnya.
Sekarang, semua dapat ia lakukan. Menyupitku, dan memasukkanku dalam mulutnya. Mengunyah perlahan hingga yakin benar kalau aku telah lumat. Ia juga dapat mencari predator-predator yang telah menyusahkannya. Adikku Refi misalnya. Ini sasaran empuk bagi kepiting. Tidak ada yang sulit, semua dapat dilakukan oleh kepiting. Kali ini dunia milik kepiting. Kalau ia mau, matahari disuruhnya berhenti, agar hidup ini terus siang atau melulu malam. Semua terserah kepiting.
Kepiting mengamuk lagi. Sebab musababnya, aku kelupaan menyiapkan air hangat untuk mandi. Jika sudah begini, alamat aku kena damprat. Sukur kalau hanya omelan. Biasanya supitan yang sakit, kadang-kadang aku hampir pingsan atau bahkan sekarat. Tapi tidak sampai mati. Kalau aku mati kepiting juga merasa rugi. Karena bagaimanapun yang lemah tetap diperlukan. Untuk apa lagi kalau bukan menambah eksistensi bagi yang kuat. Jika tidak ada si lemah, mana mungkin ada sang kuat?
Lama-lama bosan juga bersahabat dengan kepiting. Ah, bukan bersahabat. Semenjak tubuhnya membesar ia selalu semena-mena terhadapku. Aku bosan. Tidak lagi sudi bersahabat dengan kepiting. “Selamat tinggal ting!” tulisku dalam surat yang kutinggalkan untuk kepiting. Aku pergi. Entah ke mana.
Waktu berjalan menyusuri pantai dengan pasir putihnya, kutemukan seekor kepiting tergeletak tak berdaya. Ia mati. Sempat aku berfikir, kubawa pulang kepiting itu, kulumuri dengan formali, lalu kuletakkan di atas meja, sebagai teman pengusir sepi. Tapi, bayang-bayang kepiting raksasa muncul dalam benakku. Kali ini tampak aneh. Kepiting itu membantu menyingkirkan pohon-pohon yang tumbang akibat angin kencang. Supitnya yang seperti tangan buldoser, cekatan melapangkan jalan.
Tanpa pikir panjang, kupungut kepiting itu, kulumuri dengan formalin, kutaruh di atas meja, dan ah kepitingku ada dua. Sama-sama mati. Tidak bisa bicara, kering, dan tentu saja sebatas hiasan kamar. Tidak lebih. Tapi, ia juga bisa mengusir sepi. Seperti saat ini, waktu aku mengakhiri cerita tentang kepiting ini. Kedua kepiting itu mengucapkan selamat padaku. Selamat tidur. Mudah-mudahan mimpi baik. Bertemu dengan kepiting.
Kujawab ucapan kepiting itu dengan senyum, kemudian tertawa lepas. Dan, kepiting sendiri yang menyebutku gila. Ah, aku telah gila. Dapat bercakap dengan kepiting. Mungkin itu alasan terkuat aku disebut gila. Aku gila. Jangan pernah percaya padaku. Pada cerita ini juga. Ini adalah kegilaan.

Catatan:
* Puisi Syaiful Hajar “Dimensi Samudra”
*) M. Haninul Fuad adalah penulis lepas, sedang melanjutkan studi di Univ. Negeri Malang

Tidak ada komentar: