Senin, 31 Maret 2008

Guru dan Masa Depan Anak Bangsa

Oleh: Wahyu Mulya Ningrum, S.P

Selama ini jika kita mendengar istilah pendidikan yang terlintas dalam benak kita adalah sekolah berjenjang mulai dari SD hingga perguruan tinggi (PT). Sehingga sering kita beranggapan bahwa orang dikatakan “pintar” adalah orang yang dihargai dengan gelar berderet. Padahal jika kita menengok sejarah banyak pemikir dan ahli ilmu yang terlahir dari orang-orang yang tidak pernah merasakan bangku sekolah seperti: Thomas Alfa Edison, Isac Newton, Galileo Galilei, dan lain lain.
Secara harfiah pendidikan diartikan sebagai alat atau sarana transformasi ilmu yang diharapkan mampu menghasilkan output berupa orang-orang yang mampu berfikir kreatif dan mampu mengatasi kesulitan hidupnya. Secara fisilofis pendidikan dapat digolongkan menjadi 4 yaitu: pendidikan konservatif, pendidikan liberal, pendidikan kritis, dan pendidikan anarkhis.
Pendidikan konservatif, menganggap bahwa masalah yang ada di masyarakat disebabkan oleh kesalahan masyarakat itu sendiri, sehingga output pendidikan ini adalah orang-orang yang kurang care terhadap masalah orang lain. Pendidikan liberal, memandang bahwa masalah dalam masyarakat dapat diselesaikan tanpa memandang akar permasalahannya, sehingga penyelesaiannya bersifat sangat fungsional. Pendidikan kritis, yang berusaha mencari akar permasalahan dari masalah yang timbul kemudian berusaha menyelesaikannya dengan metode yang tepat. Pendidikan anarkhis, yaitu pendidikan yang benar-benar menolak sistem pendidikan formal yang dianggap hanya sebagai jargon kapitalisme.
Bagi sebagian masyarakat pendidikan seringkali dikategorikan sebagai pendidikan formal saja. Padahal pendidikan tidak hanya formal atau non fomal saja tetapi juga dikenal pendidikan alternatif. Pendidikan alternatif muncul akibat adanya ketidakpuasan terhadap sistem pendidikan formal yang cenderung tidak memihak rakyat kecil. Hal tersebut dikarenakan mahalnya biaya pendidikan yang membuat rakyat kecil sulit untuk memenuhi kebutuhanya akan pendidikan.

Guru: antara Penghargaan dan Panggilan
“Guru bak pelita penerang dalam gulita, jasamu tiada tara” inilah sepenggal lirik lagu tentang guru yang pernah kita dengar dan sarat dengan makna. Betapa besar peran seorang guru dalam mencerdaskan anak bangsa. Namun ironisnya di negeri ini sang guru tidak mendapat tempat selayaknya seperti abdi negara yang lainnya. Keidealisan yang dimiliki oleh guru di negeri inilah yang membuat mereka terus berjuang tanpa kenal lelah. Bagi mereka tugas mencerdaskan bangsa merupakan panggilan jiwa dan pekerjaan luhur nan mulia.
Beberapa tahun terakhir ini, banyak sekali bencana alam di negeri ini. Seperti, Tsunami di Aceh yang menghancurkan dan melumpuhkan seluruh aspek kehidupan, gempa di Yogyakarta dan beberapa daerah lain di Indonesia, musibah lumpur di Sidoarjo, dan diawal tahun ini musibah banjir yang menimpa ibu kota Jakarta dan sekitarnya. Kejadian itu semua menyedot banyak perhatian dari berbagai pihak terutama guru mengenai nasib anak-anak bangsa. Tapi, akankah para guru di negeri ini mau ditempatkan atau terjun langsung ke tempat mereka yang membutuhkan?
Di sisi lain kita ketahui bahwa imbalan yang diterima seorang guru tidak sesuai dengan keringat yang telah mereka keluarkan. Terkadang mereka (baca: guru) harus bisa mencari pekerjaan lain untuk menambah penghasilan atau memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Terlebih lagi bagi guru-guru yang masih berstatus sebagai guru honorer, guru bantu, ataupun guru kontrak di mana imbalan yang mereka terima masih belum bisa dikatakan layak untuk memenuhi kebutuhan hidup. Semua ini merupakan suatu dilema yang harus dihadapi.
Mestinya, perhatian pemerintah terhadap dunia pendidikan tidak hanya terfokus pada ketersedian buku bermutu. Ketersediaan guru bermutu juga merupakan lokomotif penggerak dunia pendidikan kita. Dan, salah satu bentuk penghargaan terhadap guru berkualitas adalah jaminan kehidupan yang layak. Dengan begitu seorang guru akan terpacu untuk terus mengembangkan diri.

Potret Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
Di tengah-tengah kerisauan terhadap kualitas dan kelangsungan pendidikan generasi muda dari kalangan tidak mampu, muncullah kesadaran dan prakarsa dari sejumlah orang yang peduli terhadap pendidikan.
Adalah Burhanuddin di desa Kalibening, kecamatan Tingkir, Salatiga, Jawa Tengah. Mendirikan sebuah sekolah Global yang terletak di kaki gunung Merbabu, sekolah alternatif tingkat SLTP yang di kenal SLTP Terbuka Qaryah Tayyibah yang berbasis Internet dengan biaya murah. Semua itu terwujud hasil dari kerja keras Burhanuddin dan para guru serta dukungan penuh dari seluruh warga desa Kalibening. Saat ini sekolah tersebut telah dikenal sampai kemancanegara.
Semangat patriotisme Burhanuddin untuk mewujudkan sekolah impiannya itu didukung dan disambut gembira oleh seluruh warga dan pemerintah daerah setempat. Cita-cita nya tersebut diwujudkan dengan merelakan bangunan disamping rumahnya untuk dijadikan kelas tempat belajar murid-muridnya. Burhanuddin memberikan talangan dana pribadinya kepada muridnya agar semua murid di sekolahnya dapat memiliki komputer.
Sistem pembayaran iuran di sekolah ini sangatlah fleksibel, bagi mereka yang mampu rela membayar sepuluh sampai lima belas ribu per bulan, namun bagi mereka yang tidak mampu tidak dipungut bayaran. Siswa yang belajar disekolah tersebut dihimbau untuk menabung dan mencicil komputer, karena sekolah berbasis internet, jadi memiliki komputer adalah sebuah “keharusan”.
Para guru yang berjumlah sembilan orang berjuang bersama Burhanuddin adalah sebagian dari para idealis yang bertekad mencerdaskan anak bangsa dan rela menerima honor kecil. Mereka tak pantang menyerah, untuk menyiasati keterbatasan dana Burhanuddin melakukan usaha dengan menghubungi temannya yang mau menjual komputer dengan cara dicicil seribu rupiah tiap hari per komputer dan ia juga mencoba merekam lagu-lagu dolanan jawa yang hampir punah dalam bentuk VCD dan kaset, selain itu juga membuat pustaka digital millenials dalam bentuk VCD, serta membuat film independent yang berdurasi 20 menit dengan judul orang miskin tidak boleh sekolah. Diperankan oleh guru dan seluruh siswa di sekolah tersebut, dan ternyata film tersebut ketika diikutkan dalam festival film di salah satu stasiun televisi swasta dan hasilnya masuk dalam nominasi. Semua usaha tersebut menghasilkan dana yang digunakan untuk operasional sekolah.
Semua usaha yang tak kenal lelah tersebut membuahkan hasil yang gemilang, seluruh siswa sangat piawai menggunakan piranti lunak untuk segala kegiatan mengarang, membuat data base, sampai pada program-program rumit seperti program pembuatan animasi, dan siswa juga mahir berbahasa Inggris.
Burhanuddin dan para guru berfikiran bahwa jangan pandang kelemahan internet tetapi berfikir dari internet ilmu-ilmu apa saja yang bisa kita peroleh. Padahal kita ketahui internet sangatlah rentan dengan pengaruh-pengaruh negatif, namun burhanuddin berkeyakinan hal tersebut dapat diatasi. Apabila ada siswa yang membuka situs negatif, bisa diingatkan secara demokratis.
Selain tokoh Burhanuddin yang memiliki jiwa dan semangat patriotisme untuk memajukan pendidikan anak bangsa, kita kenal juga tokoh yang tidak asing lagi yang peduli terhadap kelangsungan pendidikan anak-anak yang tinggal di bawah kolong jembatan yaitu Rian dan Rosi dua wanita kembar ini juga mendirikan sekolah alternatif di kolong jembatan yang di kenal Sekolah Kartini. Bukan hanya anak-anak putus sekolah atau yang tidak bersekolah yang belajar disana tetapi juga para ibu-ibu rumah tangga diajarkan berbagai keterampilan yang dapat menghasilakan tambahan bagi keluarga mereka sehingga mereka tidak lagi perlu berkeliaran di jalan-jalan raya untuk mengemis.
Dari cerita di atas dapat kita ketahui bahwa masih banyak orang-orang yang peduli akan nasib anak bangsa. Langka memang, tetapi cerita “pahlawan tanpa tanda jasa” tersebut mampu mengobati dan menambah semangat serta optimisme setiap elemen bangsa untuk menjadi lebih baik.
Indonesia kini telah menjadi bangsa yang merdeka bebas dari penindasan, seharuskan kita lebih dapat mengejar ketertinggalan dari bangsa lain tanpa ada rasa takut lagi. Banyaknya bencana dan musibah yang menimpa negeri ini mengingatkan kita semua untuk sama-sama bergandengan tangan memebenahi diri dan kembali pada satu tujuan membuat Indonesia tetap jaya.
Masalah pendidikan dan masa depan bangsa bukan hanya tanggung jawab pemerintah, guru, dan pemerhati pendidikan. Pendidikan adalah tanggungjawab semua pihak. Perjuangan tidak terhenti dengan diraihnya kemerdekaan, perjuangan harus terus berlanjut dengan memerangi kebodohan dan ketertinggalan untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran bangsa.
Terlebih saat ini kita ketahui bahwa tingkat ketidak lulusan siswa semakin tinggi akibat adanya standar mutu yang ditetapkan agar nantinya kualitas para lulusan dapat bersaing dengan siswa di negara lain. Hal tersebut semakin menggugah para guru dan pemerhati pendidikan untuk lebih berkonsentrasi dan berbenah diri mengejar ketertinggalan.
Dan akhirnya, Indonesia akan jaya dengan sumberdaya manusia yang berkualitas. Kualitas sumber daya manusia berjalan seiring dengan kualitas pendidikan. Sekali kita melupakan sektor pendidikan maka kita harus membayar mahal. Salah satu yang harus kita bayar akibat rendahnyanya SDM, kita akan selalu dipandang sebagai bangsa yang rendah dimata dunia.

*) Wahyu Mulya Ningrum, S.P. adalah guru pada yayasan pendidikan Al-Azhar Jeru Turen Malang.

Tidak ada komentar: