Senin, 31 Maret 2008

Dari Pameran Makam Ke Ruang Tawa


Judul Buku: Pameran Makam (Himpunan Cerpen)
Penulis: A. Rodhi Murtadho dan Yuningtyas Endarwati
Penerbit: Pustaka Ilalang, Lamongan
Tahun Terbit: Cetakan I, Maret 2008
Tebal: iv + 152 halaman
Peresensi: M. Haninul Fuad



Membaca cerpen seperti duduk sejenak di teras rumah sambil menyaksikan orang lalu lalang. Terkadang, ada yang menarik perhatian kita. Lain hal, kita melihat yang sangat membosankan. Tapi, kebanyakan terasa datar. Begitulah kumpulan cerpen. Akan selalu siap untuk dikesampingkan dan dibaca sebagai pengisi waktu luang.

Lain halnya dengan membaca sebuah novel. Membaca novel seperti memutar ingatan tentang sebuah segmen kehidupan yang utuh. Tapi, bahasa novel kebanyakan membuat orang merasa lelah. Apalagi novel yang berbau filsafat dengan logika bahasa yang begitu njlimet. Intinya, dua genre sastra tersebut, cerpen dan novel, memiliki kelemahan dan kekuatan masing-masing.

Dalam dunia yang mulai pragmatis seperti saat ini, diam-dian cerpen mengambil hati penikmat sastra. Tidak hanya bahasanya yang ringan, terkadang humoris, jalan ceritanya pun lebih masuk akal. Orang membacanya seperti melihat potret-potret kehidupan yang tidak asing lagi. Dengan begitu, setiap kali membacanya orang akan merasa bahwa membaca cerpen lebih asyik daripada membaca novel.

A. Rodhi Murtadho dan Yuningtyas Endarwati, dua penulis berbeda generasi, mencoba menguak noktah-noktah yang barangkali terlupakan oleh banyak orang. Dengan bahasa yang lugas, tuturan kedua cerpenis dalam buku yang diberi judul “Pameran Makam” ini akan membawa pembaca pada penggalan-penggalan cerita yang begitu dekat dengan kehidupan manusia.

A. Rodhi Murtadho lebih memilih tema-tema kesunyian dan “logika jungkir-balik”. Seakan ingin memuntahkan sesuatu yang lama terpendam sehingga mengikuti cerita Rodhi tak ubahnya seperti berarung jeram. Masuk ke dalam arus ketaksadaran seperti komentar Supaat I. Lathief, seorang esais sastra kontemporer. Banyak sekali jeram di sana-sini. Seperti pada “Pameran Makam”
“ ...dikabarkan juga, pemakaman orang tanpa identitas dihadiri para pejabat, mahasiswa, dan banyak orang yang mengaku punya hubungan dengan orang tersebut. Nisan tanpa nama itu disepakati karena banyak orang yang berebut ingin nama anggota keluarga atau teman mereka yang hilang terukir di sana...” (halaman 16).

Memasuki orde reformasi, nyawa seperti tidak ada harganya. Orang mati tanpa sebab, orang hilang tanpa tahu di mana rimbanya, menjadi pemandangan yang lumrah. Titik baliknya, kemudian banyak bermunculan pahlawan. Entah kebetulan atau sebuah kesengajaan alam, keluarga korban mati atau keluarga korban hilang menjadi sorotan media. Seakan-akan lupa bahwa publikasi di media tersebut menjadi sebuah drama kemanusiaan yang begitu mengharukan: menjual anggota keluarga untuk sebuah pengakuan.

Lain dengan Rodhi, Yuningtyas Endarwati lebih memilih tema-tema kesunyian yang menghanyutkan. Seperti kata pepatah “air tenang menghanyutkan” begitulah secara tiba-tiba yuningtyas mengajak pembaca untuk menyelami kedalaman hidup, tentu saja masih dari sisi kemanusiaan.

Dalam ruang tawa misalnya, Yuningtyas mengajak untuk berpikir kembali tentang batasan ruang dan waktu. “sekat-sekat ruang tak menjadi batas. Tua muda tak ada beda. Saling tersenyum mengangkasa. Menegaskan pandang anggota keluarga baru. Saling canda tentu sudah menjadi ciri khas. Tak ada yang begitu mengagetkan selain mengakrabkan dan saling menyesuaikan. Saling mengerti dan memahami keadaan.” (halaman 138).

Kedamaian akan lebih bermakna dengan bibir mengulum tawa. Setidaknya tawa menjadi pertanda bahwa seseorang tengah bahagia. Begitulah cerpen-cerpen Yuningtyas dalam kumpulan cerpen ini, menyadarkan dengan santun kalau tawa sesungguhnya juga berarti “kegilaan”.

Kembali pada nilai lebih sebuah kumpulan cerpen, buku ini seakan ingin menyentuh seluruh lapisan dan golongan tanpa membatasi pembaca dalam segmen-segmen tertentu. Setelah membacanya, barangkali, kita akan hadir dalam sebuah pemakaman, di atas pusara tanpa nama, tiba-tiba bibir kita bergetar menyunggingkan senyum tanda bahagia.

M. Haninul Fuada adalah Penggiat “Taman Baca” di Pakis Malang

Tidak ada komentar: