Kamis, 15 Oktober 2009

Agama dalam Pandangan Materialisme

Oleh: M. Haninul Fuad*)

Madilog, singkatan dari Materialisme Dialektika Logika, merupakan karya terbesar pemikir Indonesia Tan Malaka. Nama Tan Malaka sendiri ikut terpendam bersama pemikiran-pemikiran marxist lainnya. Memang, Indonesia terutama masa orde baru (Orba) mengharamkan ideologi komunis untuk tumbuh di gembur subur sawah nusantara. Sejatinya tidak hanya ideologi komunis, pemasungan juga terjadi dalam hal proses berfikir. Orba seperti seperti sebuah agama yang mengharamkan ijtihad. Makanya kenapa hanya ada lima agama yang diakui oleh pemerintah waktu itu. Lainnya tidak! Termasuk agama asli produk Indonesia (animisme, dinamisme, dan demonology) yang tidak termasuk dalam lima agama negara juga tidak diakui dan dihambat perkembangannya.
Pembahasan tentang agama, Tan Malaka memulainya dari masalah kepercayaan yang didefinisikan sebagai paham yang tidak beralaskan kebendaan. Dengan kata lain kepercayaan adalah paham yang tidak berdasarkan benda, yang bisa dialami atau bisa dipikirkan kemungkinan diperalaminya. Paham yang bertolak belakang dengan kepercayaan adalah sains. Ilmu pengetahuan (sains) merupakan paham yang berdasarkan barang, perkara, atau kejadian yang bisa diamati atau setidaknya masuk diakal.
Paham nenek moyang Indonesia (animisme, dinamisme, dan demonology) yang tidak dianggap sebagai agama oleh Orba, oleh Tan Malaka justru disejajarkan dengan agama-agama lain yang di Indonesia ada lima yaitu: Islam; Kristen; Katolik; Hindu; dan Budha, yang kemudian setelah Orba tumbang jumlah agama tersebut mengalami pertambahan. Tan Malaka memandang, dalama masalah ini hanya ada dua zenit (kutub) yaitu kepercayaan dan ilmu pengetahuan.
Ada teks yang menarik dalam Madilog dan merupakan pandangan orisinil penulisnya, teks itu berbicara tentang agama. “Selama alam ada dan selama alam raya itu ada, selama itu pula hukum alam raya berlaku. Berhubung dengan ini maka yang Maha Kuasa, jiwa yang terpisah dari jasmani, surga atau neraka, berada diluar alam raya, berada diluar madilog dan tidak dikenali dalam ilmu pengetahuan. Semua itu jatuh pada daerah kepercayaan semata-mata. Ada atau tidaknya hal itu, berpulang pada kecondongan perasaan masing-masing orang.” (Madilog, halaman 392).
Disini, wacana agama akal yang diusung oleh sebagian agama yang salah satunya adalah Islam, ditolak mentah-mentah oleh Madilog. Logika Madilog yang menggunakan logika dua dimensi (logika hitam putih), secara tegas membedakan agama dengan akal. Agama hanya terkait dengan perasaan dan intensitas kepercayaan terhadap setiap dogma yang ada di dalamnya.

Apakah Madilog lahir atas pengaruh agama?
Sebenarnya Tan Malaka sendiri adalah anak dari pasangan muslim yang taat beragama. Bahkan, sejak kecil ia sudah mahir berbahasa arab dan menafsirkan Al Quran. Oleh karenanya ia mengaku tahu betul setiap pojok-pojok dari ajaran agama Islam. Jika pernyataan diatas diulang, “Apakah Madilog lahir atas pengaruh agama?” jawabannya adalah “Ya!”. Dan, mungkin saja Tan Malaka (andai hidup sampai sekarang) sangat tidak setuju dengan jawaban tersebut.
Kembali ke logika dua dimensi yang dijadikan alat berfikir Madilog, tentu saja dua sisi mata uang itu sulit untuk dipisahkan. Agama juga begitu, ia punya saudara kembar yang bernama ilmu pengetahuan (sains). Untuk tidak terburu-buru menarik kesimpulan adanya hubungan yang kausalitas antara agama dan Madilog, dapat diambil alternatif memang ada sesuatu yang korelasional diantara agama dan Madilog.
Pandangan Madilog terhadap agama sudah jelas sebagai hal yang menyangkut kepercayaan. Tetapi, agama juga masuk dalam wilayah Madilog yaitu pada perjalanan hidup atau alam raya. Agama disamping menuntut kepercayaan terhadap sesuatu yang tidak bisa diindrakan (Tuhan, sorga, neraka, kehidupan setelah kematian, dan sebagainya) juga mengandung aturan hidup yang terkait langsung dengan fakta-fakta yang menjadi dasar dari pengetahuan.
Memberikan kebebasan berfikir kepada orang lain merupakan pengesahan terhadap kebebasan kita dalam menentukan paham yang kita junjung. Ini dapat menjadi kunci yang dapat menyatukan agama vs Madilog. Kalau selama ini sering terjadi cek-cok dalam masalah interen agama, yang paling umum adalah masalah tafsir teks, tentu kita harus meninjau ulang logika dua dimensi Madilog.
Sebagai kata akhir, beragama menurut Madilog adalah memasukkan diri pada ruang kepercayaan (keimanan), dan menerima setiap dogma yang kadang berlawanan dengan jalan berfikir seseorang. Masuk pada wilayah seperti itu, menuntut hati yang tulus ihlas. Ini penting untuk mengukuhkan keimanan.
Satu hal lagi yang tidak boleh dilupakan begitu saja, bahwa beragama adalah pilihan hidup. Dan, tentu saja pilihan hidup itu akan semakin bermakna jika kita menghargai pilihan hidup orang lain dan juga pilihan untuk tidak hidup dari orang yang lainnya lagi.

*) M. Haninul Fuad adalah penulis lepas, bermukim di Pontianak

Tidak ada komentar: