Senin, 01 Desember 2008

Memoar Sang “Pahlawan Baru”


Judul Buku : Pertempuran 10 November 1945: Kesaksian dan Pengalaman Seorang
Aktor Sejarah
Penulis : Sutomo (Bung Tomo)
Penerbit : Visimedia, Jakarta
Tahun Terbit : Cetakan II, November 2008
Tebal : xiv + 164
Peresensi : M. Haninul Fuad

“ …, selama banteng-banteng Indonesia masih mempoenjai darah merah jang dapat membikin setjarik kain poetih menjadi merah dan poetih, maka selama itoe tidak akan kita maoe menjerah kepada siapapoen djuga!”
Begitulah bunyi kutipan pidato Sutomo (Bung Tomo) menjelang pertempuran 10 November di Surabaya. Banyak kalangan menilai karena pidato Bung Tomo lah semangat arek-arek Suroboyo, semangat pemuda-pemuda Indonesia bangkit mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Indonesia yang baru saja diplokamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Pertempuran yang heroik itu kemudian kita peringati sebagai hari pahlawan. Namun sayangnya sang aktor sejarah, Bung Tomo, baru ditetapkan menjadi pahlawan nasional oleh pemerintah pada bulan November 2008. Waktu yang cukup lama untuk bangsa yang ingin menghargai jasa para pahlawannya.
Saat ingatan kita melayang pada pertempuran yang sangat heroik di Surabaya 10 November 1945 kita akan mendengar dengan jelas betapa semangat yang dikobarkan oleh Bung Tomo membahana di seantero negeri. Teriakan takbir disambut dengan derap langkah maju oleh para pejuang muda waktu itu. Negeri yang baru merdeka menunjukkan eksistensinya sebagai bangsa dan negara yang berdaulat dan anti penjajahan.
Sejarah mencatat bangsa Indonesia dijajah oleh dua negara pada dua masa yang berbeda. Belanda menjajah kuranglebih tiga setengah abad, sedangkan Jepang menjajah Indonesia “seumur jagung”. Bagi Bung Tomo, Indonesia mengalami tiga masa penjajahan, yang pertama dijajah Belanda yang kemudian disusul Jepang dan dilanjutkan “dijajah” oleh cukong-cukong Cina yang barangkali tanpa kita sadari masa penjajahan yang dimaksud Bung Tomo tersebut berlanjut samapai sekarang.
Buku “Pertempuran 10 November 1945: Kesaksian dan Pengalaman Seorang Aktor Sejarah” merupakan kumpulan benang-benang kusam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Rasa haru, jiwa yang bergelora, dan rasa geli bercampur menjadi satu dalam buku ini. Betapa tidak, Bung Tomo mencatat kejenakaan pejuang kita yang tidak tahu cara menggunakan granat tangan. Begitu granat tangan dilempar oleh pejuang-pejuang kita ke arah musuh tanpa mencabut kawat penguncinya, granat-granat itu dilempar kembali dan meledak mengenai pejuang-pejuang kita (hal. 130-131).
Catatan-catatan Bung Tomo menjadi bukti sejarah yang otentik bahwa kemerdekaan bukanlah hadiah dari penjajah. Kemerdekaan adalah keinginan para pemuda. Kemerdekaan adalah cita-cita bangsa Indonesia yang diperjuangkan dengan sungguh-sungguh. Diperjuangkan dengan pertumpahan darah. Dari sinilah buku ini memberi inspirasi bagi generasi penerus terutama para pelajar untuk lebih bersemangat mengisi kemerdekaan yang telah diperjuangkan dengan pertaruhan nyawa pejuang kita, dengan semboyan yang tidak mungkin kita lupakan “merdeka atau mati”.
Sebagai pelaku sejarah yang berkesempatan menikmati kemerdekaan, sebagai seorang pejuang sejati yang jauh dari pamrih, Bung Tomo pernah “menolak” sebuah penghargaan atas jasa-jasanya memperjuangkan kemerdekaan. Bung Tomo lebih memilih diberikan tugas untuk membebaskan Irian Barat sebelum menerima anugerah Satya Lencana. Kedengarannya memang aneh untuk masa-masa sekarang yang sebagian besar orang memilih sikap hidup pragmatis. Bagi Bung Tomo, seruan-seruannya yang mengantarkan ribuan pemuda menjemput ajalnya mesti dipertanggungjawabkan. Tidak sampai hati rasanya Bung Tomo menerima anugerah sementara para pejuang banyak yang mati muda, tidak sempat menikmati kemerdekaan yang dicita-citakan.
Penerbitan karya Bung Tomo ini merupakan ikhtiar yang luar biasa untuk membangun kembali nasionalisme pemuda kita yang mulai luntur oleh fasilitas kemerdekaan yang semakin menggila. Bayangkan saja, pelajar-pelajar kita banyak yang memilih bermain play station daripada mingikuti upacara bendera pada hari Senin! Olehkarenanya, buku yang berisi memoar perjuangan bangsa indonesia di awal-awal kemerdekaan menjadi penting untuk menjadi bahan kajian di sekolah-sekolah yang notabenenya adalah tempat penggemblengan generasi penerus bangsa.
Buku “Pertempuran 10 November 1945: Kesaksian dan Pengalaman Seorang Aktor Sejarah” tidak termasuk buku sejarah, melainkan sumber sejarah. Data-data yang disuguhkan menjadi sumber sejarah sekunder yang utama. Sekunder lebih dikarenakan yang ada dalam buku ini adalah salinan dari apa yang ditulis oleh Bung Tomo sebagai pelaku sejarah. Namun tingkat keotentikannya tidak usah diragukan lagi.
Membaca buku ini seperti menyelam dalam kedalaman pemikiran seorang pahlawan yang gigih memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Gaya reportase Bung Tomo yang juga seorang wartawan menjadikan deskripsinya hidup. Pembaca seakan dibawa pada suasana membaca novel atau kumpulan cerita pendek tanpa harus terbebani mengingat tanggal dan kronologis kejadian sejarah. Sebagai bahan bacaan, selain menawarkan hiburan, tentu saja buku ini menjadi sumber inspirasi bagi bangsa Indonesia untuk melanjutkan perjuangan dengan mengisi kemerdekaan, bukan menikmati kemerdekaan! Selamat membaca!

M. Haninul Fuad adalah Penggiat Taman Baca

Tidak ada komentar: