Sabtu, 17 Oktober 2009

Menggugat “Banking Education”


Oleh: M. Haninul Fuad*)
“Sesungguhnya, belajar (studying) itu merupakan pekerjaan yang cukup berat yang menuntut sikap kritis-sistematik (systematic critical attitude) dan kemampuan intelektual yang hanya dapat diperoleh dengan praktik langsung,” setidaknya begitulah definisi belajar menurut Paulo Freire. Bahwa belajar merupakan pekerjaan yang cukup berat, hal ini menjadi sesuatu yang biasa dan sering kita alami. Tapi, definisi pendidikan tersebut di atas akan menjadi menarik kalau kita kaitkan dengan sistem belajar di negara kita yang jauh dari kehidupan nyata. Sekolah belum menjadi miniatur kehidupan bermasyarakat.
Setidaknya sampai saat ini, belajar dengan praktik langsung hanya kita jumpai pada jenjang sekolah menengah kejuruan (SMK). Sayangnya, praktik yang dilakukan di SMK hanya sebatas pada pemenuhan target kurikulum. Andaikata kurikulum SMK tidak memerintahkan guru dan komponen pendidikan yang lain untuk melakukan praktik langsung, tentu dunia pendidikan kita jauh dari kehidupan nyata. Dengan kata lain output yang dihasilkan akan menjadi generasi yang linglung.
Lebih jauh, Paulo Freire mengungkapkan bahwa proses pendidikan -dalam hal ini hubungan guru-murid- di semua tingkatan identik dengan watak bercerita. Murid lebih menyerupai bejana-bejana yang akan dituangi air (ilmu) oleh gurunya. Karenanya, pendidikan seperti ini menjadi sebuah kegiatan menabung. Murid sebagai "celengan" dan guru sebagai "penabung".
Banking education atau pendidikan yang memperlakukan murid seperti celengan tidak akan membuahkan peningkatan intelektualitas yang berarti. Kalaupun dengan banking education ini pengetahuan murid menjadi meningkat itu karena guru telah menjejali murid dengan pengetahuan yang ia miliki. Di sini hanya terjadi transfer pengetahuan, bukan peningkatan intelektualitas.
Sikap kritis-sistematik dan kemampuan intelektual yang tinggi barangkali memang tidak akan kita temui dalam sekolah yang bergaya bank. Sebuah mata pelajaran pada “sekolah bank” memang akan mencerdaskan siswa. Tetapi kecerdasan itu terbatas pada apa yang diberikan oleh guru. Dalam hal membaca teks, siswa hanya melakukan kerja yang sifatnya mekanis. Siswa membaca teks kemudian menangkap beberapa informasi penting, kemudian guru memberikan pertanyaan dan siswa menjawabnya sesuai dengan apa yang ia baca. Begitu seterusnya sehingga siswa tidak akan mampu mengkritisi teks yang ia baca. Buku pelajaran akan menjadi kitab suci yang dogmatis.
Menciptakan suasana dialogis di sekolah yang sudah terlanjur menganut paham banking education memang bukan perkara mudah. Semestinya hal ini menjadi tanggung jawab semua komponen pendidikan di sekolah maupun di pusat. Pusat menciptakan kerangka yang bagus untuk dilaksanakan di sekolah. Sedang komponen yang ada di sekolah seperti kepala sekolah, guru, dan siswa memperlakukan kerangka yang disusun pusat bukan sebagai resep dokter melainkan sebagai acuan dalam berkreasi. Dengan harapan kreasi yang dilakukan di sekolah sesuai dengan harapan.
Yang mendesak untuk dilakukan adalah upaya pembenahan di sekolah. Jika kita menunggu intruksi dari pusat berarti kita telah membiarkan anak didik kita berlama-lama dalam kebodohan. Sebagai tenaga pendidik tentu kita akan sangat berdosa pada generasi sekarang dan beberapa generasi yang akan datang. Karena generasi mendatang adalah kelanjutan generasi yang saat ini kita didik.
Otonomi daerah mestinya kita sikapi sebagai kebebasan yang bertanggung jawab untuk mengambil langkah seribu demi kemajuan pendidikan di daerah. Kalau selama ini guru masih belum bisa menjadi teman diskusi yang baik bagi murid-muridnya, dan gaya pengajarannya yang masih konvensional sehingga tidak memungkinkan terciptanya suasana belajar dua arah maka komponen pendidikan yang ada di sekolah harus cepat-cepat “menggugat” sistem pendidikan yang membodohkan murid tersebut.
Guru, buku pelajaran yang dalam banking education diperlakukan sebagai kebenaran mutlak perlahan kita geser fungsinya menjadi sumber informasi alternatif. Konsentrasi tujuan belajar terletak pada pembentukan manusia seutuhnya yang dilengkapi dengan daya pikir yang tinggi.
Tututan sikap kritis-sistematik dan intelektualitas yang tinggi dalam proses belajar dapat kita peroleh dari belajar praktik langsung. Tentu saja praktik langsung di sini bukan kerja mekanis seperti membuat kue yang prosedur atau langkah-langkah serta bahannya tersedia. Belajar praktik langsung di sini semata-mata mengkaitkan murid dengan lingkungannya agar setelah mereka keluar dari bangku sekolah mereka dapat melanjutkan pendidikannya di masyarakat. Dengan begitu konsep belajar seumur hidup akan tercipta dengan sendirinya.

*) M. Haninul Fuad adalah penulis lepas, bermukim di Pontianak

Kamis, 15 Oktober 2009

Agama dalam Pandangan Materialisme

Oleh: M. Haninul Fuad*)

Madilog, singkatan dari Materialisme Dialektika Logika, merupakan karya terbesar pemikir Indonesia Tan Malaka. Nama Tan Malaka sendiri ikut terpendam bersama pemikiran-pemikiran marxist lainnya. Memang, Indonesia terutama masa orde baru (Orba) mengharamkan ideologi komunis untuk tumbuh di gembur subur sawah nusantara. Sejatinya tidak hanya ideologi komunis, pemasungan juga terjadi dalam hal proses berfikir. Orba seperti seperti sebuah agama yang mengharamkan ijtihad. Makanya kenapa hanya ada lima agama yang diakui oleh pemerintah waktu itu. Lainnya tidak! Termasuk agama asli produk Indonesia (animisme, dinamisme, dan demonology) yang tidak termasuk dalam lima agama negara juga tidak diakui dan dihambat perkembangannya.
Pembahasan tentang agama, Tan Malaka memulainya dari masalah kepercayaan yang didefinisikan sebagai paham yang tidak beralaskan kebendaan. Dengan kata lain kepercayaan adalah paham yang tidak berdasarkan benda, yang bisa dialami atau bisa dipikirkan kemungkinan diperalaminya. Paham yang bertolak belakang dengan kepercayaan adalah sains. Ilmu pengetahuan (sains) merupakan paham yang berdasarkan barang, perkara, atau kejadian yang bisa diamati atau setidaknya masuk diakal.
Paham nenek moyang Indonesia (animisme, dinamisme, dan demonology) yang tidak dianggap sebagai agama oleh Orba, oleh Tan Malaka justru disejajarkan dengan agama-agama lain yang di Indonesia ada lima yaitu: Islam; Kristen; Katolik; Hindu; dan Budha, yang kemudian setelah Orba tumbang jumlah agama tersebut mengalami pertambahan. Tan Malaka memandang, dalama masalah ini hanya ada dua zenit (kutub) yaitu kepercayaan dan ilmu pengetahuan.
Ada teks yang menarik dalam Madilog dan merupakan pandangan orisinil penulisnya, teks itu berbicara tentang agama. “Selama alam ada dan selama alam raya itu ada, selama itu pula hukum alam raya berlaku. Berhubung dengan ini maka yang Maha Kuasa, jiwa yang terpisah dari jasmani, surga atau neraka, berada diluar alam raya, berada diluar madilog dan tidak dikenali dalam ilmu pengetahuan. Semua itu jatuh pada daerah kepercayaan semata-mata. Ada atau tidaknya hal itu, berpulang pada kecondongan perasaan masing-masing orang.” (Madilog, halaman 392).
Disini, wacana agama akal yang diusung oleh sebagian agama yang salah satunya adalah Islam, ditolak mentah-mentah oleh Madilog. Logika Madilog yang menggunakan logika dua dimensi (logika hitam putih), secara tegas membedakan agama dengan akal. Agama hanya terkait dengan perasaan dan intensitas kepercayaan terhadap setiap dogma yang ada di dalamnya.

Apakah Madilog lahir atas pengaruh agama?
Sebenarnya Tan Malaka sendiri adalah anak dari pasangan muslim yang taat beragama. Bahkan, sejak kecil ia sudah mahir berbahasa arab dan menafsirkan Al Quran. Oleh karenanya ia mengaku tahu betul setiap pojok-pojok dari ajaran agama Islam. Jika pernyataan diatas diulang, “Apakah Madilog lahir atas pengaruh agama?” jawabannya adalah “Ya!”. Dan, mungkin saja Tan Malaka (andai hidup sampai sekarang) sangat tidak setuju dengan jawaban tersebut.
Kembali ke logika dua dimensi yang dijadikan alat berfikir Madilog, tentu saja dua sisi mata uang itu sulit untuk dipisahkan. Agama juga begitu, ia punya saudara kembar yang bernama ilmu pengetahuan (sains). Untuk tidak terburu-buru menarik kesimpulan adanya hubungan yang kausalitas antara agama dan Madilog, dapat diambil alternatif memang ada sesuatu yang korelasional diantara agama dan Madilog.
Pandangan Madilog terhadap agama sudah jelas sebagai hal yang menyangkut kepercayaan. Tetapi, agama juga masuk dalam wilayah Madilog yaitu pada perjalanan hidup atau alam raya. Agama disamping menuntut kepercayaan terhadap sesuatu yang tidak bisa diindrakan (Tuhan, sorga, neraka, kehidupan setelah kematian, dan sebagainya) juga mengandung aturan hidup yang terkait langsung dengan fakta-fakta yang menjadi dasar dari pengetahuan.
Memberikan kebebasan berfikir kepada orang lain merupakan pengesahan terhadap kebebasan kita dalam menentukan paham yang kita junjung. Ini dapat menjadi kunci yang dapat menyatukan agama vs Madilog. Kalau selama ini sering terjadi cek-cok dalam masalah interen agama, yang paling umum adalah masalah tafsir teks, tentu kita harus meninjau ulang logika dua dimensi Madilog.
Sebagai kata akhir, beragama menurut Madilog adalah memasukkan diri pada ruang kepercayaan (keimanan), dan menerima setiap dogma yang kadang berlawanan dengan jalan berfikir seseorang. Masuk pada wilayah seperti itu, menuntut hati yang tulus ihlas. Ini penting untuk mengukuhkan keimanan.
Satu hal lagi yang tidak boleh dilupakan begitu saja, bahwa beragama adalah pilihan hidup. Dan, tentu saja pilihan hidup itu akan semakin bermakna jika kita menghargai pilihan hidup orang lain dan juga pilihan untuk tidak hidup dari orang yang lainnya lagi.

*) M. Haninul Fuad adalah penulis lepas, bermukim di Pontianak