Minggu, 28 Desember 2008

Kemiskinan di Tengah Euforia Politik

Oleh: M. Haninul Fuad*)

Kemiskinan menjadi masalah yang sangat serius di negeri ini. Selain jumlahnya yang semakin meningkat, berlarut-larutnya masalah kemiskinan menimbulkan citra buruk bagi pemerintah. Seakan-akan pemerintah tidak serius menangani masalah ini. Padahal dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah mengalami amandemen jelas menyebutkan dalam pasal 34 ayat 1: Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara, serta ayat 2 yang berbunyi: Negara mengembangkan system jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Jika benar demikian, berarti presiden dan wakil presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat telah gagal menjalankan amanat rakyat.

Kekecewaan sudah pasti ada. Apalagi dulu sewaktu belum dipilih presiden dan wakil presiden berkampanye dengan menawarkan berbagai program kerja untuk kesejahteraan bersama dan janji-janji lain yang terdengar manis. Kondisi ini dapat menjadi pendidikan politik yang buruk bagi rakyat. Apalagi sampai menimbulkan trauma dan sikap apatis terhadap pemerintahan.

Dalam dunia politik, cara untuk menang seakan-akan menjadi tidak penting. Kalau memang harus mengumbar janji atau bahkan misalnya harus membagi-bagikan uang atau yang sering kita sebut money politic, semua akan dilakukan. Menyongsong pemilu pada 2009 dan pilkada di beberapa daerah banyak oknum yang mencuri start untuk berkampanye. Caranya bermacam-macam, ada yang memanfaatkan media televisi, dengan memasang baliho dan poster besar-besar di pinggir jalan dan di tempat-tempat umum. Sehingga kemanapun mata memandang di situ terlihat wajah-wajah yang tersenyum atau mungkin juga tertawa yang tertahan. Saya curiga dengan senyuman mereka. Jangan-jangan mereka sedang menertawakan rakyat yang sebagian besar hidup di bawah garis kemiskinan.

Sebenarnya, kalau memang mau mencuri start untuk kampanye ada cara yang lebih elegan dan berkemanusiaan. Desas desus tentang seorang pemimpin parpol besar yang menghabiskan dana hampir 300 milyar hanya untuk memasang iklan di televisi dan nampang di pinggir-pinggir jalan hanya membuat luka di hati rakyat miskin. Di tengah kemiskinan yang kian mencekik dengan adanya kenaikan harga BBM yang disusul dengan kenaikan bahan pangan, uang 300 milyar bukanlah jumlah yang sedikit. Dana sebesar itu sebenarnya bisa kita manfaatkan untuk membantu usaha kecil dan menciptakan lapangan pekerjaan baru. Seandainya dalam pemilu tidak terpilih tentu tidak akan merasarugi. Dari sisi kemanusiaan jelas cara ini lebih bermartabat.

Entah ada unsur kesengajaan atau tidak, dalam dunia politik kemiskinan justru menjadi komoditas yang layak untuk dijual. Program-program pengentasan kemiskinan menjadi program wajib untuk menarik simpati rakyat. Kenyataannya kan berubah 180 derajat ketika sudah benar-benar terpilih. Janji tinggallah janji kata lirik sebuah lagu. Rakyat miskin tetap tertindas, bahkan kebijakan pemerintah sering mengabaikan nasib rakyat miskin.

Kemiskinan memang sudah menjadi masalah yang klasik di negeri ini. Pada orde yang lalu kita sempat menjadi bangsa swasembada beras. Entah itu hanya simbolisasasi dari ketidakmampuan kita atau memang benar demikian, yang jelas ada rasa bangga waktu itu. Di tengah-tengah kondisi sulit dan naiknya harga bahan pangan pokok akibat dicabutnya subsidi bahan bakar minyak (BBM) seperti sekarang ini pemerintah bukannya membesarkan hati rakyat dan menumbuhkan semangat bahwa kita bisa mengahadapi kondisi sulit ini justru melemahkan daya juang rakyat dengan memberikan santunan berupa bantuan langsung tunai (BLT).

Ada indikasi bahwa BLT yang diberikan oleh pemerintah sarat dengan muatan politis. Program lain yang serupa dengan BLT adalah BKM yaitu bantuan khusus mahasiswa yang diperuntukkan bagi mahasiswa tidak mampu. Lagi-lagi pemerintah memanfaatkan kemiskinan untuk menarik simpati rakyat dan mengalihkan perhatian atas kesalahan mencabut subsidi BBM.

Sebagian orang menilai bahwa BKM hanya alat pemerintah untuk meredam demo mahasiswa yang menentang kenaikan BBM. Terlepas benar atau salah penilaian tersebut rupanya pemerintah telah salah dalam menilai kemiskinan. Logika sederhana jika orangtua mampu memasukkan anaknya ke perguruan tinggi untuk menyandang status mahasiswa sudah tentu orangtua tersebut memiliki kemampuan ekonomi yang mungkin sedikit lebih baik ketimbang orangtua yang anaknya putus sekolah sampai tingkat SMP untuk membantu orangtuanya bekerja mencukupi kebutuhan hidup tiap hari.

Ada beberapa kekhawatiran yang ingin saya ajukan pada tulisan ini, jika memang benar kemiskinan adalah senjata politik yang paling ampuh tentu kemiskinan tidak akan pernah berakhir mendera rakyat kita. Yang kedua, pendidikan politik yang buruk akan menimbulkan trauma bagi rakyat yang pada akhirnya akan menumbuhkan sikap apatis terhadap pemerintahan. Dalam kondisi ini, pemerintah akan mengalami kesulitan dalam menjalankan rada pemerintahan. Peraturan-peraturan yang dikeluarkan akan dianggap angina lalu oleh masyarakat. Sesuatu yang mengerikan akan benar-benar terjadi. Indonesia akan menjadi Negara yang tetap miskin, tidak dihormati di mata masyarakat dunia karena masyarakatnya sendiri tidak menghargai pemimpinnya yang terlalu banyak mengumbar janji.

*) M. Haninul Fuad adalah penulis lepas, sedang melanjutkan studi di Univesitas Negeri Malang

Senin, 01 Desember 2008

Memoar Sang “Pahlawan Baru”


Judul Buku : Pertempuran 10 November 1945: Kesaksian dan Pengalaman Seorang
Aktor Sejarah
Penulis : Sutomo (Bung Tomo)
Penerbit : Visimedia, Jakarta
Tahun Terbit : Cetakan II, November 2008
Tebal : xiv + 164
Peresensi : M. Haninul Fuad

“ …, selama banteng-banteng Indonesia masih mempoenjai darah merah jang dapat membikin setjarik kain poetih menjadi merah dan poetih, maka selama itoe tidak akan kita maoe menjerah kepada siapapoen djuga!”
Begitulah bunyi kutipan pidato Sutomo (Bung Tomo) menjelang pertempuran 10 November di Surabaya. Banyak kalangan menilai karena pidato Bung Tomo lah semangat arek-arek Suroboyo, semangat pemuda-pemuda Indonesia bangkit mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Indonesia yang baru saja diplokamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Pertempuran yang heroik itu kemudian kita peringati sebagai hari pahlawan. Namun sayangnya sang aktor sejarah, Bung Tomo, baru ditetapkan menjadi pahlawan nasional oleh pemerintah pada bulan November 2008. Waktu yang cukup lama untuk bangsa yang ingin menghargai jasa para pahlawannya.
Saat ingatan kita melayang pada pertempuran yang sangat heroik di Surabaya 10 November 1945 kita akan mendengar dengan jelas betapa semangat yang dikobarkan oleh Bung Tomo membahana di seantero negeri. Teriakan takbir disambut dengan derap langkah maju oleh para pejuang muda waktu itu. Negeri yang baru merdeka menunjukkan eksistensinya sebagai bangsa dan negara yang berdaulat dan anti penjajahan.
Sejarah mencatat bangsa Indonesia dijajah oleh dua negara pada dua masa yang berbeda. Belanda menjajah kuranglebih tiga setengah abad, sedangkan Jepang menjajah Indonesia “seumur jagung”. Bagi Bung Tomo, Indonesia mengalami tiga masa penjajahan, yang pertama dijajah Belanda yang kemudian disusul Jepang dan dilanjutkan “dijajah” oleh cukong-cukong Cina yang barangkali tanpa kita sadari masa penjajahan yang dimaksud Bung Tomo tersebut berlanjut samapai sekarang.
Buku “Pertempuran 10 November 1945: Kesaksian dan Pengalaman Seorang Aktor Sejarah” merupakan kumpulan benang-benang kusam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Rasa haru, jiwa yang bergelora, dan rasa geli bercampur menjadi satu dalam buku ini. Betapa tidak, Bung Tomo mencatat kejenakaan pejuang kita yang tidak tahu cara menggunakan granat tangan. Begitu granat tangan dilempar oleh pejuang-pejuang kita ke arah musuh tanpa mencabut kawat penguncinya, granat-granat itu dilempar kembali dan meledak mengenai pejuang-pejuang kita (hal. 130-131).
Catatan-catatan Bung Tomo menjadi bukti sejarah yang otentik bahwa kemerdekaan bukanlah hadiah dari penjajah. Kemerdekaan adalah keinginan para pemuda. Kemerdekaan adalah cita-cita bangsa Indonesia yang diperjuangkan dengan sungguh-sungguh. Diperjuangkan dengan pertumpahan darah. Dari sinilah buku ini memberi inspirasi bagi generasi penerus terutama para pelajar untuk lebih bersemangat mengisi kemerdekaan yang telah diperjuangkan dengan pertaruhan nyawa pejuang kita, dengan semboyan yang tidak mungkin kita lupakan “merdeka atau mati”.
Sebagai pelaku sejarah yang berkesempatan menikmati kemerdekaan, sebagai seorang pejuang sejati yang jauh dari pamrih, Bung Tomo pernah “menolak” sebuah penghargaan atas jasa-jasanya memperjuangkan kemerdekaan. Bung Tomo lebih memilih diberikan tugas untuk membebaskan Irian Barat sebelum menerima anugerah Satya Lencana. Kedengarannya memang aneh untuk masa-masa sekarang yang sebagian besar orang memilih sikap hidup pragmatis. Bagi Bung Tomo, seruan-seruannya yang mengantarkan ribuan pemuda menjemput ajalnya mesti dipertanggungjawabkan. Tidak sampai hati rasanya Bung Tomo menerima anugerah sementara para pejuang banyak yang mati muda, tidak sempat menikmati kemerdekaan yang dicita-citakan.
Penerbitan karya Bung Tomo ini merupakan ikhtiar yang luar biasa untuk membangun kembali nasionalisme pemuda kita yang mulai luntur oleh fasilitas kemerdekaan yang semakin menggila. Bayangkan saja, pelajar-pelajar kita banyak yang memilih bermain play station daripada mingikuti upacara bendera pada hari Senin! Olehkarenanya, buku yang berisi memoar perjuangan bangsa indonesia di awal-awal kemerdekaan menjadi penting untuk menjadi bahan kajian di sekolah-sekolah yang notabenenya adalah tempat penggemblengan generasi penerus bangsa.
Buku “Pertempuran 10 November 1945: Kesaksian dan Pengalaman Seorang Aktor Sejarah” tidak termasuk buku sejarah, melainkan sumber sejarah. Data-data yang disuguhkan menjadi sumber sejarah sekunder yang utama. Sekunder lebih dikarenakan yang ada dalam buku ini adalah salinan dari apa yang ditulis oleh Bung Tomo sebagai pelaku sejarah. Namun tingkat keotentikannya tidak usah diragukan lagi.
Membaca buku ini seperti menyelam dalam kedalaman pemikiran seorang pahlawan yang gigih memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Gaya reportase Bung Tomo yang juga seorang wartawan menjadikan deskripsinya hidup. Pembaca seakan dibawa pada suasana membaca novel atau kumpulan cerita pendek tanpa harus terbebani mengingat tanggal dan kronologis kejadian sejarah. Sebagai bahan bacaan, selain menawarkan hiburan, tentu saja buku ini menjadi sumber inspirasi bagi bangsa Indonesia untuk melanjutkan perjuangan dengan mengisi kemerdekaan, bukan menikmati kemerdekaan! Selamat membaca!

M. Haninul Fuad adalah Penggiat Taman Baca