Senin, 05 Mei 2008

Menulis di Media Massa itu Tidak Sulit!

Oleh: M. Haninul Fuad

“Sejak dulu saya yakin bahwa kalau saya melempar sekumpulan kata-kata ke angkasa, semuanya akan jatuh kembali dalam susunan yang benar”
Truman Capote

Ada sebuah hitungan matematis yang dapat menggairahkan dunia tulis-menulis: misalkan seorang penulis dalam satu minggu dapat menghasilkan tiga tulisan yang dimuat di media nasional. Maka, dalam satu bulan penulis tersebut berkarya sebanyak 12 tulisan (artikel). Honor per tulisan di media nasional berkisar antara Rp. 200.000 sampai Rp. 600.000. Misalkan kita ambil tengah-tengahnya (Rp. 400.000) untuk honorarium setiap artikel, maka penghasilan penulis perbulannya Rp. 4.800.000. Angka ini merupakan pendapatan yang cukup besar untuk ukuran orang Indonesia. Bahkan, angka ini melebihi gaji seorang profesor di perguruan tinggi. Sungguh angka yang tidak mengecewakan!
Tapi, untuk menjadi penulis profesional banyak hal yang perlu disiapkan. Diawal tulisan ini, sengaja saya mengutip pernyataan Truman Capote. Saya tidak tahu siapa Truman Capote. Apakah dia seorang penulis hebat? Yang jelas, pernyataannya mengisyaratkan kalau menulis itu adalah pekerjaan yang sangat mudah. Mengapa tidak setiap orang bisa menulis? Pertanyaan inilah yang membawa saya pada suatu kesimpulan bahwa untuk menjadi penulis memang perlu memperhatikan beberapa kata kunci.
Dunia tulis-menulis tidak dapat dipisahkan dengan ide dan orisinilitas. Modal dasar seorang penulis adalah “kepekaan” dan “sikap kritis” berhadapan dengan teks kehidupan, entah teks tertulis maupun teks yang tidak tertulis. Dari sini penulis mendapat ide dan inspirasi, lantas mengelolanya menjadi karya tulis. Penuangan ide menjadi karya tulis menuntut ketreampilan dan melalui proses yang terus menerus (kontinu). Menulis adalah proses latihan dan mencoba terus menerus. Kemampuan menulis ibarat mata pisau, agar tidak berkarat mata pisau harus dipakai dan diasah terus menerus.
Selain proses yang terus menerus, seorang penulis pemula diberikan kebebasan untuk belajar pada penulis tenar yang ia kehendaki. Kita dapat belajar dari penulis tenar seperti: Karl Marx, Sigmund Freud, Soedjatmoko, Pramudya Ananta Toer, Goenawan Mohammad, William lidle, Abdurrahman wahid, Nue Cholish Madjid, Jalaludin Rachmat, Jaya Suprana, Putu Wijaya, Emha Ainun Nadjib, dan penulis-penulis hebat lainnya. Namun begitu, langkah ini harus dijauhkan dari tindak plagiasi. Hakim menambahkan, seorang penulis yang berorientasi pada nama besar dan honorarium serta imbalan sebanyak-banyaknya tidak akan menjadi penulis besar dan berpengaruh.
Selain ide yang baru dan orisinilitas tulisan, seorang penulus pemula yang ingin tulisannya dimuat di media massa harus memperhatikan betul karakter media yang ingin dituju. Kita mesti rajin memantau kecenderungan artikel di media tersebut. Meskipun sama-sama bernama artikel, kadang ada nuansa perbedaan antara satu media massa dengan media massa yang lainnya. Perbedaan itu misalnya dalam hal panjang pendeknya, dalam hal pilihan temanya, dalam hal selera penuangan serta ungkapan bahasanya, dalam hal ide dan gagasannya, dan lain-lain.

Kisah di sekolah
Masih melekat dalam ingatan saya, delapan tahun yang lalu saya mengenakan seragam abu abu- putih. Orang bilang, saya beranjak dewasa. Saya tidak tahu pasti apa makna kedewasaan. Yang jelas waktu itu saya suka sendiri menulis puisi. Biarlah orang bilang saya pemuda cengeng. Yang pasti, dengan menulis puisi saya mendapatkan sesuatu yang tidak mungkin didapat orang lain. Dengan menulis, dari segi materi, saya memang merugi. Karena karya-karya itu hanya saya nikmati sendiri, dan tidak pernah menghasilkan uang. Bahkan, waktu untuk mengerjakan PR dari Bapak-Ibu guru sering melayang begitu saja untuk menulis. Saya tidak tahu sudah berapa rupiah jika waktu yang saya gunakan untuk menulis itu diuangkan. Dan, anehnya saya tidak pernah merasa rugi.
Tiga tahun di SMA saya habiskan tanpa ada sesuatu yang istimewa. Setiap hari saya datang ke sekolah, pulang, kadang main ke rumah teman, dan esoknya saya kembali lagi ke sekolah. Rutinitas itu kadang terasa menjemukan. Tapi saya tahu, memang begitulah sekolah. Duduk manis mendengarkan pelajaran, mencatat hal-hal yang menurut saya penting, jika tidak tahu mengacungkan tangan bertanya pada guru. Saya tidak pernah membayangkan suatu saat nanti saya akan jadi penulis.
Suatu hari saya berjalan sendirian di pinggir jalan dekat pasar. Ada pedagang yang sepi pembeli menggelar dagangannya. Maklum, dagangan itu memang tidak terlalu penting untuk dibeli. Buku loakan yang sebagian mengeluarkan bau tak sedap, mana mungkin menjadi komoditi yang dicari orang. Diam-dian hati saya tertarik pada benda rongsokan itu. Saya lihat buku bersampul kuning judulnya “Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45” karya H. B. Jassin. Disebelahnya, buku bersampul hijau dengan tulisan besar-besar “Pengajaran Gaya Bahasa” karya Henri Guntur Tarigan. Dua buku itu harganya seribu. Apalah artinya uang seribu. Kubeli buku itu tanpa tawar-menawar.
Kecintaan saya pada dunia sastra semakin meningkat. Tapi, di sekolah saya malah memilih jurusan IPA. Jadi, kalau sekarang saya bisa menulis, semua itu saya dapat secara otodidak. Saya percaya kalau buku itu sumber ilmu. Dengan membacanya kita akan kaya dengan sendirinya.
Pernah saya memutuskan untuk aktif dalam ekstra jurnalistik di sekolah saya. Saya ingin minat saya dalam dunia tulis menulis tersalurkan dengan baik. Kadang saya merasa iri dengan teman saya yang tulisannya nongol di majalah sekolah (majalah KHARISMA). Tapi, semua keinginan saya itu tidak pernah kesampaian. Saya tetap menulis untuk diri saya sendiri dan tidak pernah dipublikasikan. Kalaupun ada orang lain yang membaca tulisannya saya itu sebatas teman dekat dan orang-orang tercinta. Pendek cerita tulisannya saya belum ada yang dipublikasikan di media massa. Bahkan, mimpi untuk menjadi penulis pun belum terbayang dalam benak saya.
Ketika saya duduk di bangku kuliah, momen terindah dalam hidup saya terjadi. Tulisan saya dimuat dalam tabloid kampus. Saya merasakan kebahagiaan yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya. Ah, benar-benar indah. Disamping itu, saya juga mendapatkan sejumlah uang yang belakangan hari saya tahu kalau setiap tulisan yang dimuat di media massa akan mendapatkan honorarium.
Dan sekarang dunia saya benar-benar berubah. Biaya hidup saya, biaya kuliah, dan biaya-biaya yang lain justru saya dapat dari menulis. Ternyata, menulis yang dulu saya anggap sebagai pekerjaan sia-sia kini berfungsi sebagai “penyambung hidup” saya.
Sesekali saya masih teringat kisah di SMA: saya sering sendiri sambil menulis puisi. Jangan dikira saya bisa menghilangkan kebiasaan saya itu, saat-saat tertentu saya masih suka sendiri sambil menulis. Bukan hanya puisi, sebab hidup ini tidak cukup diselesaikan dengan puisi.

Menulislah sekarang juga!
Paparan dalam tulisan ini barangkali tidak cukup ampuh untuk membangkitkan motifasi menulis Anda. Saya tahu, satu-satunya orang yang dapat memacu semangat anda adalah diri anda sendiri. Satu hal yang perlu digarisbawahi: ketika kita mencoba untuk menunda kegiatan menulis kita, maka selamanya kita tidak akan menulis.
Seperti yang dikatakan Comte, jika kita melempar kata-kata ke angkasa maka kata-kata tersebut akan tersusun dengan sendirinya dalam susunan yang benar. Itu artinya, jika kita dengan sungguh-sungguh menuliskan barang satu kalimat saja maka kalimat tersebut akan menjadi kalimat terindah dalam hidup kita. Saya yakin Anda punya cukup banyak waktu untuk menulis. Maka menulislah sekarang juga, dan rasakan betapa bahagianya hati kita setelah menulis. Anda tidak percaya? Silahkan mencobanya sendiri!

M. Haninul Fuad adalah penggiat Taman Baca, sedang melanjutkan studi di Univ. Negeri Malang