Minggu, 27 April 2008

Kepiting

Oleh: M. Haninul Fuad

Tadi malam kepiting itu mengucapkan terima kasih padaku. Memang, aku yang memungut kepiting mati di atas pasir. Kupungut, kulumuri dengan formalin, kemudian kutaruh di atas meja tempatku menulis. Saat cerpen ini kutulis ia masih bercakap-cakap.
Ceritanya, ia merasa muak dengan kehidupan laut yang luas tanpa batas. Terombang ambing oleh ombak yang kadang-kadang membahayakan keselamatan jiwa. Tidak hanya itu, demokrasi laut sempat membuat para kepiting stress. Demokrasi yang dimaksud kepiting adalah bahwa hewan laut yang paling besar makan yang besar. Yang besar makan yang kecil. Yang kecil makan yang paling kecil. Yang paling kecil lebih siap dimakan daripada mencari makan*
Kepiting yang berbadan tidak sebegitu besar tentu saja tidak senang dengan demokrasi itu. Karena, kemana-mana rasanya tidak aman. Bayang-bayang predator selalu saja menghantui.
Pernah suatu ketika kepiting itu berjalan mencari makan. Tiba-tiba saja bayangan hitam besar berkelebat. Kontan kepiting lari terbirit-birit menyusup di celah-celah karang. Sialnya, karang tempat ia berlindung waktu itu tidak bersahabat. Sebagian menimpa satu kaki kirinya hingga putus. Begitu cerita kepiting waktu kutanya: mengapa kakinya berjumlah tujuh?
Ada enaknya kepiting bersamaku. Di sini, ia bisa hidup abadi. Dan, bayang-bayang predator tidak akan muncul. Tapi, ia bercerita, pernah juga predator muncul. Kali ini sungguh aneh. Disini predator itu kecil dan berjalan tidak sebegitu tegap. Dengan sempoyongan predator berusaha meraih kepiting yang berada pada tempat agak tinggi. Hampir kena! Untung saja aku cepat datang dan melarang Refi adikku membanting awetan kepiting. Selamatlah ia dari kehancuran, kenag kepiting yang kusambut dengan senyum. Kemudian tertawa lepas. “Husss!! Nanti kamu disebut gila” saran kepiting padaku.
Dalam kamar yang berukuran 3 kali 3,5 meter ini yang biasa kulakukan adalah tidur. Melulu tidur. Kehadiran kepiting membuatku lebih hidup. Aku bisa bercerita tentang banyak hal. Dan dia juga menceritakan keluh kesahnya menjadi kepiting. Pendek kata kami, aku dan kepiting, telah menjadi dua sahabat yang selalu berbagi. Baik suka maupun disaat duka.
Waktu tidak punya duit misalnya, aku membagi kesedihan itu dengan kepiting. Jawabnya, “nggak usah sedih, nggak punya duit nggak apa-apa, asal jangan berhenti berkarya” termasuk menulis cerpen ini, ini juga atas rekomendasi kepiting. Menurutnya, jika cerpen ini jadi, kemudian dikirim ke redaksi koran nanti akan dapat honor yang besarnya lumayan. “Tapi jangan lupa, nanti kalau dapat honor, pergi ke apotik untuk beli formalin. Agar aku lebih awet lagi” begitu mintanya padaku.
Seperti biasa aku senyum-senyum saja menanggapi kata-kata kepiting yang ceplas-ceplos tanpa dipikir dahulu. Apakah kepiting bisa berfikir? Tanyaku pada kepiting. Ia terdiam, dan kemudian balik bertanya padaku.
“Kamu tahu apa yang baru saja kulakukan?”
“Ya, kamu bingung tidak bisa memikirkan jawaban atas pertanyaanku”
“Salah, kamu, manusia berfikir dengan prasangka buruk pada binatang, khususnya kepiting. Aku diam karena berfikir. Berfikir memecahkan masalah, bukan lari dari masalah yang banyak dilakukan oleh manusia”
Ting (panggilan akrab kepiting), sudahlah. Malam ini aku tidak mau debat denganmu. Aku sekarang lagi stress. Kepalaku pening, dan pingin makan orang. Untung saja kamu kepiting. Aku tidak bernafsu dengan kepiting.
Sesaat diam, kulihat tubuh kepiting perlahan membesar. Bertambah besar, dan besar. Supitnya seperti tangan buldoser menghancurkan rumah waktu penggusuran. Besar dan sangar. Aku jadi takut. Kepiting sahabatku akan menuntut balas. Sebab pernah aku memukul-mukul batok kepalanya. Waktu itu ia diam saja. Mungkin karena tidak mampu membalasnya.
Sekarang, semua dapat ia lakukan. Menyupitku, dan memasukkanku dalam mulutnya. Mengunyah perlahan hingga yakin benar kalau aku telah lumat. Ia juga dapat mencari predator-predator yang telah menyusahkannya. Adikku Refi misalnya. Ini sasaran empuk bagi kepiting. Tidak ada yang sulit, semua dapat dilakukan oleh kepiting. Kali ini dunia milik kepiting. Kalau ia mau, matahari disuruhnya berhenti, agar hidup ini terus siang atau melulu malam. Semua terserah kepiting.
Kepiting mengamuk lagi. Sebab musababnya, aku kelupaan menyiapkan air hangat untuk mandi. Jika sudah begini, alamat aku kena damprat. Sukur kalau hanya omelan. Biasanya supitan yang sakit, kadang-kadang aku hampir pingsan atau bahkan sekarat. Tapi tidak sampai mati. Kalau aku mati kepiting juga merasa rugi. Karena bagaimanapun yang lemah tetap diperlukan. Untuk apa lagi kalau bukan menambah eksistensi bagi yang kuat. Jika tidak ada si lemah, mana mungkin ada sang kuat?
Lama-lama bosan juga bersahabat dengan kepiting. Ah, bukan bersahabat. Semenjak tubuhnya membesar ia selalu semena-mena terhadapku. Aku bosan. Tidak lagi sudi bersahabat dengan kepiting. “Selamat tinggal ting!” tulisku dalam surat yang kutinggalkan untuk kepiting. Aku pergi. Entah ke mana.
Waktu berjalan menyusuri pantai dengan pasir putihnya, kutemukan seekor kepiting tergeletak tak berdaya. Ia mati. Sempat aku berfikir, kubawa pulang kepiting itu, kulumuri dengan formali, lalu kuletakkan di atas meja, sebagai teman pengusir sepi. Tapi, bayang-bayang kepiting raksasa muncul dalam benakku. Kali ini tampak aneh. Kepiting itu membantu menyingkirkan pohon-pohon yang tumbang akibat angin kencang. Supitnya yang seperti tangan buldoser, cekatan melapangkan jalan.
Tanpa pikir panjang, kupungut kepiting itu, kulumuri dengan formalin, kutaruh di atas meja, dan ah kepitingku ada dua. Sama-sama mati. Tidak bisa bicara, kering, dan tentu saja sebatas hiasan kamar. Tidak lebih. Tapi, ia juga bisa mengusir sepi. Seperti saat ini, waktu aku mengakhiri cerita tentang kepiting ini. Kedua kepiting itu mengucapkan selamat padaku. Selamat tidur. Mudah-mudahan mimpi baik. Bertemu dengan kepiting.
Kujawab ucapan kepiting itu dengan senyum, kemudian tertawa lepas. Dan, kepiting sendiri yang menyebutku gila. Ah, aku telah gila. Dapat bercakap dengan kepiting. Mungkin itu alasan terkuat aku disebut gila. Aku gila. Jangan pernah percaya padaku. Pada cerita ini juga. Ini adalah kegilaan.

Catatan:
* Puisi Syaiful Hajar “Dimensi Samudra”
*) M. Haninul Fuad adalah penulis lepas, sedang melanjutkan studi di Univ. Negeri Malang

Kamis, 17 April 2008

Meretas Cakrawala dengan Membaca

Oleh: M. Haninul Fuad*)

"Buku: senjata yang kukuh dan berdaya hebat untuk melakukan serangan maupun pertahanan terhadap perubahan sosial, termasuk perubahan dalam nilai-nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan"
(Muchtar Lubis)

Tidak ada kata lain yang pantas diucapkan menyikapi minat baca masyarakat Indonesia kecuali: "Memprihatinkan!". Taufiq Ismail yang sekarang gencar melancarkan program gemar membaca di kalangan remaja (anak-anak sekolah) lewat "Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB)" dan "Sastrawan Bicara Mahasiswa Membaca (SBMM)" dalam berbagai kesempatan mengungkap kegundahgulanaan hatinya. Ia mengatakan –yang mungkin membuat sebagian orang bosan- "Kita telah menjadi bangsa yang rabun membaca buku dan lumpuh menulis". Ungkapan ini tentunya punya alasan yang sangat kuat. Dan, benar adanya, persoalan kita adalah minat baca yang rendah.

Sebagai gambaran awal, sastrawan yang jebolan kedokteran hewan Institut Pertanian Bogor (IPB) ini mengungkapkan data yang membuat kita tercengang (bagi yang masih punya peduli). Dalam data itu disebutkan, buku yang ada di perpustakaan sekolah yang wajib di baca oleh siswa dan siswa menulis tentang buku itu di beberapa negara adalah sebagai berikut:
SMA di Singapura (6 judul); Malaysia (6 judul); Thailand Selatan (5 judul); Brunai Darusalam (7 judul); Jepang (15 judul); Kanada (13 judul); USA (32 judul); Jerman (22 judul); Int’l School Swiss (15 judul); Rusia (12 judul); Perancis 20-30 judul); Nederland (30 judul); Indonesia jaman Belanda (25 judul); SMA Indonesia sekarang sampai tahun 2001 (0 judul).
Kenapa 0 judul? Apapun jawabnya, yang jelas angka itu memposisikan Indonesia pada urutan yang paling buncit. Mungkin masyarakat kita belum mengetahui manfaat membaca. Mungkin juga mereka, belum tahu bagaimana membaca yang baik, yang dapat mewujudkan apa yang kita inginkan.

Hernowo, dalam bukunya "Quantum Reading" yang sempat laris manis, memberikan informasi masa depan pembaca. Pada halaman 33 disebutkan bahwa manfaat khusus kegiatan membaca adalah terhindar dari kerusakan jaringan otak di masa tua. Membaca buku dapat menumbuhkan syaraf-syaraf baru di otak. Tapi sayang, meski sudah tahu begitu besar manfaat membaca, sudut-sudut rumah masih dibiarkan kosong tanpa buku. Malahan, diisi dengan barang-barang pajangan dan perabot rumah tangga.
Perpustakaan sekolah yang merupakan sumber pengetahuan memiliki beberapa permasalahan. Selain permasalahan tidak tersedianya buku-buku bermutu, tidak jarang perpustakaan sekolah sepi pengunjung. Kedua hal ini memiliki korelasi yang signifikan. Pengelola perpustakaan sekolah enggan menambah koleksi buku baru lantaran sedikitnya pengunjung. Sedangkan pengunjung menjadi malas mendatangi perpustakaan sekolah yang koleksi bukunya sedikit dan kuno. Bahkan perpustakaan sekolah hampir mirip dengan museum yang memajang benda-benda purbakala.
Rendahnya minat baca masyarakat Indonesia ditinjau dari sudut ekonomi sedikit banyak dapat dimaklumi. Pendapatan perkapita masyarakat terlalu sedikit untuk dibelikan buku. Jangankan untuk beli buku, untuk kebutuhan sehari-hari yang sifatnya primer pun masih kurang. Oleh karenanya, langkah beberapa kepala sekolah untuk melengkapi koleksi perpustakaan sekolah dengan buku-buku bermutu dan fasilitas internet sebagai layanan virtual library patut diacungi jempol.

Peningkatan layanan perpustakaan sekolah akan membawa dampak positif bagi minat baca warga warga sekolah yang mencakup guru, siswa, dan pegawai sekolah. Namun begitu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yang pertama pengunjung setia perpustakaan sekolah masih dari golongan tertentu, belum mencakup seluruh warga sekolah. Yang kedua, sosialisasi program-program perpustakaan sekolah perlu ditingkatkan, mengingat masih banyaknya warga yang belum tahu atau tidak mau tahu dengan program-program tersebut. Pada intinya pihak pengambil keputusan dalam hal ini kepala sekolah mesti menjemput bola. Kalau perlu personil perpustakaan keliling ke kelas-kelas untuk menawarkan program baru dan buku-buku baru agar semua elemen tahu kalau perpustakaan yang dimiliki selalu di up date.

Rendahnya minat baca masyarakat membuat kita jauh tertinggal dengan negara-negara lain. Sementara orang sudah bisa menginjakkan kakinya di bulan, kita masih bermimpi di siang bolong. Orang jepang sudah sejak lama menanam dengan media air (hidroponik) kita malah asik dengan kesuburan tanah kita, yang jika tanah tersebut menjadi gersang kita tidak tahu bagaimana menanganinya.

Selama ini kita masih disibukkan dengan hal-hal yang sifatnya teoritis. Misalnya, kalau tiba-tiba nilai ujian nasional siswa kita tiba-tiba jelek maka kita beramai-ramai menyalahkan sistem. Padahal, sebagai bagian dari sistem pendidikan tentunya kita juga harus ikut bertanggung jawab. Bukan hanya guru dan siswa saja, keterlibatan komite sekolah juga memiliki andil yang cukup besar. Yang menjadi pekerjaan rumah (PR) bersama saat ini adalah bagaimana melaksanakan ide-ide teoritis yang penulis yakin semua memilikinya tersebut menjadi pergerakan yang sifatnya praktis. Taufiq Ismail sudah memulainya, kapan di sekolah kita?

Harapan penulis, dengan ditingkatkannya pelayanan perpustakaan sekolah dapat diimbangi dengan minat membaca yang tinggi. Percuma perpustakaan itu dibangun kalau sekedar sebagai pelengkap infrastruktur sekolah saja. Dengan begitu kata pepatah "gayung telah bersambut". Mari meretas cakrawala tanpa batas ini dengan gemar membaca!
*) M. Haninul Fuad adalah Penggiat Taman Baca, Guru SMA Terbuka Mamba’unnur Gading Bululawang Malang

Rabu, 02 April 2008

Madzhab Baru Dalam Psikologi


Judul Buku: Psikologi Fenomenologi Eksistensialisme
Penulis: Supaat I. Lathief
Penerbit: Pustaka Ilalang, Lamongan
Tahun Terbit: Cetakan I, Maret 2008

Fenomenologi adalah sebuah metode pemikiran, a way of looking at a things, yang berbeda dari cara berpikir seorang ilmuwan. Ilmuwan bisa meyakinkan orang lain dengan mengajukan pembuktian hasil eksperimen ilmiah, yang dapat diuji oleh ilmuwan lain secara terbuka. Tidak demikian halnya dengan seorang fenomenolog. Yang terakhir ini hanya dapat mengarahkan mata orang lain, sehingga ia dapat melihat apa yang dilihat seorang fenomenolog.
Metode pemikiran ini pertama kali dirintis pertama kali oleh Edmund Husserl (1859-1939), seorang ahli filsafat Yahudi Jerman. Menurutnya, fenomenologi sebagai suatu disiplin filsafat yang akan berusaha melukiskan segala pengalaman manusia. Selanjutnya metode fenomenologis maknanya mulai berkembang, dan kata fenomenologis kira-kira bersinonim dengan deskriptif, yaitu mendeskripsikan seluruh gejala kesadaran; sedangkan yang menjadi obyek telaah adalah hakikat atau makna yang tampak sebagai gejala (fenomena) dalam kesadaran.
Fenomenologi menjadi sangat populer pada pertengahan abad kedua puluh atau sekitar tahun 50-an ketika banyak deskripsi fenomenologis bermunculan dengan gaya yang lebih hidup dan populis –di Perancis oleh Jean-Paul Sartre, Merleau-Ponty, sedang di negara Belanda dikembangkan oleh F. Buytendijk. Fenomenologi (Husserl) memahami kesadaran yang terarah kepada realitas (intensionalitas), maksudnya, kesadaran berarti kesadaran akan sesuatu. Peroalan yang tampak adalah kehadiran kedua belah pihak, subyek dan obyek. Subyek mengarahkan diri (kesadarannya) kepada obyek, dan sebagai akibatnya akan muncul sudut pandang. Fenomenologi berkeyakinan bahwa fenomen atau gejala harus diajak berbicara, diberi kesempatan untuk menampakkan diri. Sementara itu, kesadaran (subyek) dengan aktif menangkap hakikat obyek dengan analisis ketat (rigorous analysis) dan melalui proses empati. Jelas sekali fenomenologi menegasikan jarak atau kesenjangan antara subyek dan obyek. Kesadaran subyek tak sampai mengobyektivikasi obyek, melainkan menghayati, mengalami obyek untuk menangkap hakikat dan maknanya.
Metode fenomenologis Husserl ternyata telah membawa Martin Heidegger (1889-1976), seorang ahli filsafat kebangsaan Jerman, kepada filsafat dan psikologi yang berusaha menitikberatkan pada psikoterapis dan analisis fenomenolgis-eksistensial. Namun, analisis tersebut berkembang menjadi sebuah kajian empiris, seperti yang dipraktikkan dalam berbagai penelitian dan praktik psikoterapis, seperti dilakukan oleh Binswanger, Medrad Boss, Victor Frankl, Rollo May, Carl Rogers. Psikologi fenomenologi-eksistensial sendiri dipengaruhi oleh perkembangan filsafat eksistensialisme dengan menggunakan metode fenomenologis Husserl. Konsep-konsep dasar filsafat eksistensialisme kemudian diterapkan para psikolog eksistensialisme untuk menjelaskan eksistensi dan pengalaman manusia dalam praktik terapuetis mereka.
Lebih spesifik psikoterapi fenomenologi-eksistensial dipergunakan baik untuk mengungkap gejala eksistensi dan pengalaman manusia, juga untuk praktik psikoterapis terhadap subyek (klien, pasien) yang membutuhkan penanganan terhadap masalah-masalah eksistensial, seperti kecemasan, kehampaan, keterasingan psikologis, apatis, maupun ketidakbermaknaan hidup. Selanjutnya Binswanger, mengatakan psikoterapi fenomenologi-eksistensial merupakan kajian psikologis untuk mengungkap eksistensi manusia pada taraf empiris (fenomenal). Kajian tersebut tidak hanya untuk memahami gejala eksistensi manusia secara mendalam (teoritis), tetapi juga untu praktik terapuetis terhadap individu-individu yang mengalami ganggun psikologis.
Buku ini merupakan sebuah pengantar dalam memahami konsep-konsep dasar psikologi fenomenologi-eksistensialisme. Dengan segala kekurangan dan keterbatasan, penulis menyajikan pokok-pokok pikiran para tokoh fenomenologi, eksistensialisme, serta perkembangannya dalam praktik psikoterapi fenomenologi-eksistensial, serta struktur eksistensi manusia maupun struktur pengalaman eksistensial manusia. Dengan demikian, kehadiran buku ini mampu membuka ketersembunyian dalam memahami konsep-konsep psikoterpai fenomenologi-eksistensial, sehingga dapat membantu mengaplikasikan dalam ruang kerja terapuetis mereka.

Selasa, 01 April 2008

Sastra, Filsafat, dan Pernik Kehidupan


Oleh: Sutardi, S.S., M.Pd.
(Dekan FKIP Unisda Lamongan)

Judul Buku: Sastra: Eksistensialisme-Mistisisme Religius
Penulis: Supaat I. Lathief
Penerbit: Pustaka Ilalang, Lamongan
Tahun Terbit: Cetakan I, Maret 2008


Karya sastra merupakan hasil kesadaran kejiwaan masyarakat, sebagai sejarah mentalitas, sebagai cermin masyarakat, dokumen sosial budaya, serta sebagai sistem pemikiran, sistem pengetahuan yang dihadirkan pengarang dalam menangkap, memandang, dan memahami sebuah realitas. Keberadaan realitas di mata seorang pengarang diolah, diinternalisasi dan ditransendensikan melalui penjelajahan secara mendalam ke dalam wilayah pemikiran dan perasaan.
Sebagai sejarah mentalitas, karya sastra dapat merupakan wujud renungan atas realitas, wujud pandangan kritis atas realitas, dan wujud pikiran alternatif atas realitas. Obyek karya sastra adalah realitas, apapun juga yang dimaksud dengan realitas oleh pengarang. Sastrawan menerjemahkan realitas tersebut dengan bahasa imajiner dalam bentuk karya sastra bisa berbentuk puisi, cerpen maupun novel. Sehingga karya sastra yang ditulis sastrawan merupakan wujud, bentuk, dan cara ia membicarakan atau membahasahan realitas ke dalam realitas satra. Dalam perspektif Michel Foucault, karya sastra merupakan wacana yang menghadirkan sebuah episteme tertentu ke dalam wacana karya sastra.
Dalam buku The Archeology of Knowledge (1972) atau Arkeologi Pengetahuan (2002), Michel Foucault memberikan sebuah rumusan tafsir arkeologis terhadap karya sastra pada dua konsep pokok: episteme atau sistem pengetahuan (pemikiran) dan wacana. Episteme adalah cara manusia menangkap, memandang, dan memahami realitas. Episteme tersebut mengandung pengandaian-pengandaian tertentu, prinsip-prinsip tertentu, syarat-syarat kemungkinan tertentu, cara-cara pendekatan tertentu ataupun apriori historis tertentu. Dengan perkataan lain, episteme bermaksud memberikan kerangka, bahkan mendasari wacana. Sedangkan wacana adalah cara manusia mengatakan, membahasakan atau membicarakan realitas.
Sebagai sebuah pendekatan, konsep wacana (discourse) melihat realitas sosial sebagai arena diskursif (discursive field) diberi makna melalui cara yang khas (Rahardjo, 2002: 1997). Dalam wacana inilah pusat kegiatan (kreativitas) manusia. Episteme dan wacana tunduk pada berbagai aturan, yang menentukan apa yang dipandang atau dibicarakan dari realitas sosial serta proses kehidupan sosial. Dengan kata lain, setiap zaman memandang, memahami, dan membicarakan realitas dengan cara lain; hal ini berarti bahwa setiap zaman menciptakan dan memiliki episteme dan wacana berbeda. Jadi arkeologi pengetahuan Foucault dapat dipergunakan dalam memahami berbagai fenomena sosial, budaya, politik, agama, termasuk karya sastra, baik secara diakronis (paradigmatis) maupun sinkronis (sintagmatis).
Sebagai bagian kesadaran intelektual masyarakatnya, karya sastra tak pernah terlepas dari sistem sosial budaya yang melingkupinya. Oleh karena itu, karya sastra bisa merupakan gambaran yang melukiskan realitas sosial tanpa harus menyatakan sikap terhadap sistem sosial; merupakan analisis sosial yang menyiasati berbagai perubahan masyarakat dengan menyatakan pendapatnya secara sadar; serta dapat menyuguhkan filsafat yang memberikan landasan penilaian tentang apa yang sedang terjadi dengan cara melakukan analisis penuh perlawanan terhadap kondisi masyarakatnya.
Pada tahun 1970-an muncul tradisi antiintelektualisme dalam sastra Indonesia dengan diterbitkannya novel-novel Iwan Simatupang, Kuntowijoyo; dan Putu Wijaya, Arifin C. Noer, Budi Darma di tahun 1980-an. Mereka ingin membangun sastra sebagai sebuah alternatif, suatu dunia yang otonom, tidak mengikuti aturan-aturan logika sosial. Mereka menolak realitas sosial, karena kemapanan sosial itu sendiri tidak mempunyai keabsahan. Antiintelektualisme ini tampak kental dalam karya primitivisme Sutardji Colzoum Bachri, mistisisme karya Abdul Hadi WM dan Danarto.
Ketidakpercayaan pada realitas itu dapat timbul oleh berbagai sebab (Kuntowijoyo: 1987). Pertama, mungkin pengarang merasakan adanya anomie dalam masyarakat ketika sistem sosial dan sistem nilai tidak lagi koheren. Kedua, pengarang mewakili sentimen dari anggota masyarakat yang terasingkan dalam proses teknologisasi, gejala yang tidak terlalu sulit untuk dicari. Munculnya Dadaisme di Eropa pada kurun setelah Perang Dunia Pertama ketika orang sangsi akan kebenaran rasionalisme, dengan sastra Amerika dalam dasawarsa 1960-an, dasawarsa yang penuh dengan apa yang oleh Daniel Bell disebut sebagai ‘kontradiksi masyarakat kapitalis’ dengan counter-culture-nya.
Tulisan ini merupakan bagian kecil tafsiran terhadap karya sastra antiintelektuliame: eksistensialime dan mistisisme-religius. Hampir seluruh bahasan dalam tulisan ini menggunakan penghampiran tersebut dalam usaha memahami sebuah wacana sastra, seperti tampak pada pembahasan karya penulis terkenal Nietzsche, Franz Kaffka, Sartre, Camus, Elliot, Jalaluddin Rumi, Rabiah Al-Adawiyah, Fariduddin Attar, Al-Hallaj, Muhammad Iqbal, Umar Khayam dan masih banyak lagi. Dalam khazanah sastra kontemporer Indonesia pun dibahas karya-karya monumental Iwan Simatupang, Danarto, Putu Wijaya, Budi Darma, Abdul Hadi WM, Sutardji CB, D. Zawawi Imron, Hamid Jabar, Arifin C. Noer, Sapardi Djoko Damono, taufik Ismail, Chairil Anwar, A. Musthofa Bisri dan lain-lain. Semua itu dilakukan dalam kerangka pemahaman sebuah episteme dan wacana karya sastra.
Relasional sastra antara episteme dan wacana selalu dikedepankan dalam menganalisis sebuah karya sastra. Bagaimana konsepsi tentang dunia, manusia, alam semesta, agama hingga mistisisme. Diawali dari gerakan eksistensialime sebagai budaya maupun filsafat, pengaruh eksistensialisme terhadap tumbuhnya karya sastra terhimpun pada bagian pertama buku ini. Bagian kedua tulisan ini berbicara tentang pernik-pernik kehidupan dan kritik sosial. Dengan sastra, manusia lebih detail melihat kehidupan sosial. Sedangkan pada bagian ketiga menyibak mistisisme serta religiusitas sastra (religiusitas Islam) berkait erat pada kenyataan sosial, realitas kehidupan masyarakat modern, karena episteme Islam adalah integralistik. Semua kenyataan berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Atau dengan gambaran yang lebih linier daripada siklis, dapat dikatakan bahwa segala kenyataan berpangkal pada Tuhan dan berujung pada Tuhan. Semua kenyataan itu terkait dengan konsep tentang keesaan Tuhan (tauhid). Islam sebagai agama yang universal dari segi ruang dan abadi dari segi waktu terkait dengan kenyataan sehari-hari yang khusus, ada continuum yang tak terputus antara keesaan Tuhan dan kenyataan. Itulah Islam yang otentik (QS Yusuf: 40; Ar-Rum: 30).
Klasifikasi tema terhadap berbagai tulisan, yang pernah tersebar di berbagai surat kabar dan majalah, memang tidak bisa runtut dan sistematis. Kadang terasa sekali kerangka bahasan jauh dari sistematika kepenulisan baku, melompat-lompat, dan tak teratur apalagi dengan mengharapkan sebuah gagasan yang utuh. Namun bukan berarti sebuah bahasan sama sekali lepas dari tema bahasan itu sendiri. Bahkan mungkin pembaca bisa bebas memberikan klasifikasi terhadap kumpulan tulisam ini secara padu dan sistematis. Paling tidak kehadiran buku ini akan memberikan tambahan tafsiran atau analisis karya sastra bagi peminat karya sastra maupun mahasiswa sastra, sambil memberikan catatan maupun kritik terhadapnya.
Sebuah tulisan tidak lahir begitu saja, seperti halnya seluruh tulisan dalam buku ini terlahir dari sebuah kegiatan intelektual, sebuah diskusi intensif dalam lingkaran Studi Sastra, Filsafat, Agama dan Pembangunan di Malang Jawa Timur. Selamat menikmati!

Bahasa Jawa Vs Bahasa Malangan

Oleh: M. Haninul Fuad*)
Bahasa jawa yang kita kenal selama ini adalah bahasa jawa yang memiliki jenjang ngoko, kromo, dan kromo inggil. Setiap jenjang memiliki fungsi yang berbeda-beda. Misanya bahasa jawa ngoko, bahasa ini digunakan dalam berkomunikasi dengan orang-orang yang derajatnya lebih rendah, atau minimal sejajar. Sedangkan kromo inggil digunakan ketika berkomunikasi dengan orang yang dihormati, orang yang lebih tua, dan orang yang memiliki kedudukan dalam pemerintahan. Bahasa jawa yang seperti inilah yang diajarkan di sekolah-sekolah saat ini.
Dalam perkembangannya, bahasa jawa dengan strukturnya yang berjenjang, mulai ditinggalkan khususnya oleh generasi muda. Mereka "menciptakan" bahasa baru yang sering kita istilahkan sebagai bahasa gaul. Sebagai alat komunikasi, bahasa gaul memang lebih efektif. Ini terbukti dengan semakin banyaknya pengguna bahasa ini, dan juga antar pelaku dalam kegiatan komunikasi tersebut terlihat adanya kontak batin yang harmonis. Dalam sebuah komunitas pengguna bahasa gaul misalnya, antar person seakan memiliki derajat keakraban yang sangat tinggi. Pesan yang ingin disampaikan pada lawan bicara juga tersampaikan dengan baik.
Fenomena munculnya "bahasa ibu" yang baru ini agaknya menarik untuk dibicarakan. Dan lagi, fenomena ini ternyata membawa dampak bagi perkembangan bahasa jawa. Perkembangan bahasa gaul dan kelestarian bahasa jawa berbanding terbalik. Ketika generasi muda, khususnya pelajar dan mahasiswa, mulai rame-rame menggunakan bahasa gaul, pada saat yang sama, mereka meninggalkan bahasa jawa. Kalau memang fungsi bahasa sebagai alat komunikasi, tentu bahasa jawa tidak lagi relevan untuk di ajarkan. Toh dengan bahasa yang baru tersebut mereka dapat berkomunikasi dengan lancar. Dan, jika pengajaran bahasa jawa hanya berorientasi pada pelestarian bahsa jawa, pertanyaannya adalah: kenapa mesti dilestarikan? Untuk apa bahsa yang tidak lagi efektif sebagai alat komunikasi kita lestarikan?
Di Malang, kita mengenal bahasa malangan, atau bahasa walikan. Dikalangan kaum muda, bahasa ini tidak lagi menjadi barang aneh. Bahkan para pemuda yang belum mengerti dengan bahasa ini dianggap kuper, kuno, dan tidak mengikuti perkembangan zaman. Kalau faktanya seperti itu, kenapa bukan bahasa malangan saja yang diajarkan di sekolah-sekolah? Pertanyaan ini penting berkenaan dengan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi yang sengaja dilaksanakan untuk menggali potensi daerah.
Sebelum berbicara lebih lanjut tentang pengajaran bahasa daerah, tidak ada salahnya jika kita mengkaji landasan hukum pengajaran bahasa daerah yang tertuang dalam undang-undang Nomor 20 tahun2003 tentang sistem pendidikan nasional (UU Sisdiknas). Dalam UU Sisdiknas Pasal 37 ayat (1) disebutkan bahwa "Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: a. pendidikan agama, b. pendidikan kewarganegaraan, c. bahasa, d. matematika, e. ilmu pengetahuan alam, f. ilmu pengetahuan sosial, g. seni dan budaya, h. pendidikan jasmani dan rohani, i. keterampilan/ kejuruan, dan j. muatan lokal."
Selanjutnya dalam penjelasan UU No. 20 tahun 2003 Pasal 37 ayat (1), mengenai bahasa dan muatan lokal adalah sebagai berikut; Bahan kajian bahasa mencakup bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing dengan pertimbangan.
1. Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional
2. Bahasa daerah merupakan bahasa ibu peserta didik, dan
3. Bahasa asing terutama bahasa Inggris merupakan bahasa internasional yang sangat penting kegunaannya dalam pergaulan global.
Dari sini jelas bahwa bahasa malangan, secara hukum sah untuk diajarkan pada para pelajar yang ada di Malang.
Tentang kekhawatiran sebagian orang akan matinya bahasa jawa, kita mengaca pada kematian bahasa sansekerta dan bahasa latin. Kedua bahasa itu sekarang dikenal orang sebatas idiom-idiom yang mungkin dirasa masih perlu. Dan, bahasa jawa kedepan, mungkin akan mengalami nasib yang sama. Orang-orang di masa depan akan mengatakan bahwa bahasa jawa adalah: tut wuri handayani; ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa.
Beberapa hal yang mesti kita perhatikan, yang pertama fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi. Semakin efektif suatu bahasa dalam menyampaikan pesan, maka bahasa tersebut akan ramai-ramai dipergunakan orang. Yang kedua, bahasa malangan adalah bahasa ibu bagi kaum muda di Malang. Oleh karenanya, pengajaran bahasa daerah bagi pelajar di Malang yang dimaksud oleh UU Sisdiknas adalah bahasa malangan, bukan bahasa jawa yang berakar pada tradisi keraton jawa tengahan.
M. Haninul Fuad Guru Bahasa dan Sastra Indonesia pada SMA Mamba'unnur Gading Bululawang Malang