Senin, 31 Maret 2008

Guru dan Masa Depan Anak Bangsa

Oleh: Wahyu Mulya Ningrum, S.P

Selama ini jika kita mendengar istilah pendidikan yang terlintas dalam benak kita adalah sekolah berjenjang mulai dari SD hingga perguruan tinggi (PT). Sehingga sering kita beranggapan bahwa orang dikatakan “pintar” adalah orang yang dihargai dengan gelar berderet. Padahal jika kita menengok sejarah banyak pemikir dan ahli ilmu yang terlahir dari orang-orang yang tidak pernah merasakan bangku sekolah seperti: Thomas Alfa Edison, Isac Newton, Galileo Galilei, dan lain lain.
Secara harfiah pendidikan diartikan sebagai alat atau sarana transformasi ilmu yang diharapkan mampu menghasilkan output berupa orang-orang yang mampu berfikir kreatif dan mampu mengatasi kesulitan hidupnya. Secara fisilofis pendidikan dapat digolongkan menjadi 4 yaitu: pendidikan konservatif, pendidikan liberal, pendidikan kritis, dan pendidikan anarkhis.
Pendidikan konservatif, menganggap bahwa masalah yang ada di masyarakat disebabkan oleh kesalahan masyarakat itu sendiri, sehingga output pendidikan ini adalah orang-orang yang kurang care terhadap masalah orang lain. Pendidikan liberal, memandang bahwa masalah dalam masyarakat dapat diselesaikan tanpa memandang akar permasalahannya, sehingga penyelesaiannya bersifat sangat fungsional. Pendidikan kritis, yang berusaha mencari akar permasalahan dari masalah yang timbul kemudian berusaha menyelesaikannya dengan metode yang tepat. Pendidikan anarkhis, yaitu pendidikan yang benar-benar menolak sistem pendidikan formal yang dianggap hanya sebagai jargon kapitalisme.
Bagi sebagian masyarakat pendidikan seringkali dikategorikan sebagai pendidikan formal saja. Padahal pendidikan tidak hanya formal atau non fomal saja tetapi juga dikenal pendidikan alternatif. Pendidikan alternatif muncul akibat adanya ketidakpuasan terhadap sistem pendidikan formal yang cenderung tidak memihak rakyat kecil. Hal tersebut dikarenakan mahalnya biaya pendidikan yang membuat rakyat kecil sulit untuk memenuhi kebutuhanya akan pendidikan.

Guru: antara Penghargaan dan Panggilan
“Guru bak pelita penerang dalam gulita, jasamu tiada tara” inilah sepenggal lirik lagu tentang guru yang pernah kita dengar dan sarat dengan makna. Betapa besar peran seorang guru dalam mencerdaskan anak bangsa. Namun ironisnya di negeri ini sang guru tidak mendapat tempat selayaknya seperti abdi negara yang lainnya. Keidealisan yang dimiliki oleh guru di negeri inilah yang membuat mereka terus berjuang tanpa kenal lelah. Bagi mereka tugas mencerdaskan bangsa merupakan panggilan jiwa dan pekerjaan luhur nan mulia.
Beberapa tahun terakhir ini, banyak sekali bencana alam di negeri ini. Seperti, Tsunami di Aceh yang menghancurkan dan melumpuhkan seluruh aspek kehidupan, gempa di Yogyakarta dan beberapa daerah lain di Indonesia, musibah lumpur di Sidoarjo, dan diawal tahun ini musibah banjir yang menimpa ibu kota Jakarta dan sekitarnya. Kejadian itu semua menyedot banyak perhatian dari berbagai pihak terutama guru mengenai nasib anak-anak bangsa. Tapi, akankah para guru di negeri ini mau ditempatkan atau terjun langsung ke tempat mereka yang membutuhkan?
Di sisi lain kita ketahui bahwa imbalan yang diterima seorang guru tidak sesuai dengan keringat yang telah mereka keluarkan. Terkadang mereka (baca: guru) harus bisa mencari pekerjaan lain untuk menambah penghasilan atau memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Terlebih lagi bagi guru-guru yang masih berstatus sebagai guru honorer, guru bantu, ataupun guru kontrak di mana imbalan yang mereka terima masih belum bisa dikatakan layak untuk memenuhi kebutuhan hidup. Semua ini merupakan suatu dilema yang harus dihadapi.
Mestinya, perhatian pemerintah terhadap dunia pendidikan tidak hanya terfokus pada ketersedian buku bermutu. Ketersediaan guru bermutu juga merupakan lokomotif penggerak dunia pendidikan kita. Dan, salah satu bentuk penghargaan terhadap guru berkualitas adalah jaminan kehidupan yang layak. Dengan begitu seorang guru akan terpacu untuk terus mengembangkan diri.

Potret Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
Di tengah-tengah kerisauan terhadap kualitas dan kelangsungan pendidikan generasi muda dari kalangan tidak mampu, muncullah kesadaran dan prakarsa dari sejumlah orang yang peduli terhadap pendidikan.
Adalah Burhanuddin di desa Kalibening, kecamatan Tingkir, Salatiga, Jawa Tengah. Mendirikan sebuah sekolah Global yang terletak di kaki gunung Merbabu, sekolah alternatif tingkat SLTP yang di kenal SLTP Terbuka Qaryah Tayyibah yang berbasis Internet dengan biaya murah. Semua itu terwujud hasil dari kerja keras Burhanuddin dan para guru serta dukungan penuh dari seluruh warga desa Kalibening. Saat ini sekolah tersebut telah dikenal sampai kemancanegara.
Semangat patriotisme Burhanuddin untuk mewujudkan sekolah impiannya itu didukung dan disambut gembira oleh seluruh warga dan pemerintah daerah setempat. Cita-cita nya tersebut diwujudkan dengan merelakan bangunan disamping rumahnya untuk dijadikan kelas tempat belajar murid-muridnya. Burhanuddin memberikan talangan dana pribadinya kepada muridnya agar semua murid di sekolahnya dapat memiliki komputer.
Sistem pembayaran iuran di sekolah ini sangatlah fleksibel, bagi mereka yang mampu rela membayar sepuluh sampai lima belas ribu per bulan, namun bagi mereka yang tidak mampu tidak dipungut bayaran. Siswa yang belajar disekolah tersebut dihimbau untuk menabung dan mencicil komputer, karena sekolah berbasis internet, jadi memiliki komputer adalah sebuah “keharusan”.
Para guru yang berjumlah sembilan orang berjuang bersama Burhanuddin adalah sebagian dari para idealis yang bertekad mencerdaskan anak bangsa dan rela menerima honor kecil. Mereka tak pantang menyerah, untuk menyiasati keterbatasan dana Burhanuddin melakukan usaha dengan menghubungi temannya yang mau menjual komputer dengan cara dicicil seribu rupiah tiap hari per komputer dan ia juga mencoba merekam lagu-lagu dolanan jawa yang hampir punah dalam bentuk VCD dan kaset, selain itu juga membuat pustaka digital millenials dalam bentuk VCD, serta membuat film independent yang berdurasi 20 menit dengan judul orang miskin tidak boleh sekolah. Diperankan oleh guru dan seluruh siswa di sekolah tersebut, dan ternyata film tersebut ketika diikutkan dalam festival film di salah satu stasiun televisi swasta dan hasilnya masuk dalam nominasi. Semua usaha tersebut menghasilkan dana yang digunakan untuk operasional sekolah.
Semua usaha yang tak kenal lelah tersebut membuahkan hasil yang gemilang, seluruh siswa sangat piawai menggunakan piranti lunak untuk segala kegiatan mengarang, membuat data base, sampai pada program-program rumit seperti program pembuatan animasi, dan siswa juga mahir berbahasa Inggris.
Burhanuddin dan para guru berfikiran bahwa jangan pandang kelemahan internet tetapi berfikir dari internet ilmu-ilmu apa saja yang bisa kita peroleh. Padahal kita ketahui internet sangatlah rentan dengan pengaruh-pengaruh negatif, namun burhanuddin berkeyakinan hal tersebut dapat diatasi. Apabila ada siswa yang membuka situs negatif, bisa diingatkan secara demokratis.
Selain tokoh Burhanuddin yang memiliki jiwa dan semangat patriotisme untuk memajukan pendidikan anak bangsa, kita kenal juga tokoh yang tidak asing lagi yang peduli terhadap kelangsungan pendidikan anak-anak yang tinggal di bawah kolong jembatan yaitu Rian dan Rosi dua wanita kembar ini juga mendirikan sekolah alternatif di kolong jembatan yang di kenal Sekolah Kartini. Bukan hanya anak-anak putus sekolah atau yang tidak bersekolah yang belajar disana tetapi juga para ibu-ibu rumah tangga diajarkan berbagai keterampilan yang dapat menghasilakan tambahan bagi keluarga mereka sehingga mereka tidak lagi perlu berkeliaran di jalan-jalan raya untuk mengemis.
Dari cerita di atas dapat kita ketahui bahwa masih banyak orang-orang yang peduli akan nasib anak bangsa. Langka memang, tetapi cerita “pahlawan tanpa tanda jasa” tersebut mampu mengobati dan menambah semangat serta optimisme setiap elemen bangsa untuk menjadi lebih baik.
Indonesia kini telah menjadi bangsa yang merdeka bebas dari penindasan, seharuskan kita lebih dapat mengejar ketertinggalan dari bangsa lain tanpa ada rasa takut lagi. Banyaknya bencana dan musibah yang menimpa negeri ini mengingatkan kita semua untuk sama-sama bergandengan tangan memebenahi diri dan kembali pada satu tujuan membuat Indonesia tetap jaya.
Masalah pendidikan dan masa depan bangsa bukan hanya tanggung jawab pemerintah, guru, dan pemerhati pendidikan. Pendidikan adalah tanggungjawab semua pihak. Perjuangan tidak terhenti dengan diraihnya kemerdekaan, perjuangan harus terus berlanjut dengan memerangi kebodohan dan ketertinggalan untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran bangsa.
Terlebih saat ini kita ketahui bahwa tingkat ketidak lulusan siswa semakin tinggi akibat adanya standar mutu yang ditetapkan agar nantinya kualitas para lulusan dapat bersaing dengan siswa di negara lain. Hal tersebut semakin menggugah para guru dan pemerhati pendidikan untuk lebih berkonsentrasi dan berbenah diri mengejar ketertinggalan.
Dan akhirnya, Indonesia akan jaya dengan sumberdaya manusia yang berkualitas. Kualitas sumber daya manusia berjalan seiring dengan kualitas pendidikan. Sekali kita melupakan sektor pendidikan maka kita harus membayar mahal. Salah satu yang harus kita bayar akibat rendahnyanya SDM, kita akan selalu dipandang sebagai bangsa yang rendah dimata dunia.

*) Wahyu Mulya Ningrum, S.P. adalah guru pada yayasan pendidikan Al-Azhar Jeru Turen Malang.

Dari Pameran Makam Ke Ruang Tawa


Judul Buku: Pameran Makam (Himpunan Cerpen)
Penulis: A. Rodhi Murtadho dan Yuningtyas Endarwati
Penerbit: Pustaka Ilalang, Lamongan
Tahun Terbit: Cetakan I, Maret 2008
Tebal: iv + 152 halaman
Peresensi: M. Haninul Fuad



Membaca cerpen seperti duduk sejenak di teras rumah sambil menyaksikan orang lalu lalang. Terkadang, ada yang menarik perhatian kita. Lain hal, kita melihat yang sangat membosankan. Tapi, kebanyakan terasa datar. Begitulah kumpulan cerpen. Akan selalu siap untuk dikesampingkan dan dibaca sebagai pengisi waktu luang.

Lain halnya dengan membaca sebuah novel. Membaca novel seperti memutar ingatan tentang sebuah segmen kehidupan yang utuh. Tapi, bahasa novel kebanyakan membuat orang merasa lelah. Apalagi novel yang berbau filsafat dengan logika bahasa yang begitu njlimet. Intinya, dua genre sastra tersebut, cerpen dan novel, memiliki kelemahan dan kekuatan masing-masing.

Dalam dunia yang mulai pragmatis seperti saat ini, diam-dian cerpen mengambil hati penikmat sastra. Tidak hanya bahasanya yang ringan, terkadang humoris, jalan ceritanya pun lebih masuk akal. Orang membacanya seperti melihat potret-potret kehidupan yang tidak asing lagi. Dengan begitu, setiap kali membacanya orang akan merasa bahwa membaca cerpen lebih asyik daripada membaca novel.

A. Rodhi Murtadho dan Yuningtyas Endarwati, dua penulis berbeda generasi, mencoba menguak noktah-noktah yang barangkali terlupakan oleh banyak orang. Dengan bahasa yang lugas, tuturan kedua cerpenis dalam buku yang diberi judul “Pameran Makam” ini akan membawa pembaca pada penggalan-penggalan cerita yang begitu dekat dengan kehidupan manusia.

A. Rodhi Murtadho lebih memilih tema-tema kesunyian dan “logika jungkir-balik”. Seakan ingin memuntahkan sesuatu yang lama terpendam sehingga mengikuti cerita Rodhi tak ubahnya seperti berarung jeram. Masuk ke dalam arus ketaksadaran seperti komentar Supaat I. Lathief, seorang esais sastra kontemporer. Banyak sekali jeram di sana-sini. Seperti pada “Pameran Makam”
“ ...dikabarkan juga, pemakaman orang tanpa identitas dihadiri para pejabat, mahasiswa, dan banyak orang yang mengaku punya hubungan dengan orang tersebut. Nisan tanpa nama itu disepakati karena banyak orang yang berebut ingin nama anggota keluarga atau teman mereka yang hilang terukir di sana...” (halaman 16).

Memasuki orde reformasi, nyawa seperti tidak ada harganya. Orang mati tanpa sebab, orang hilang tanpa tahu di mana rimbanya, menjadi pemandangan yang lumrah. Titik baliknya, kemudian banyak bermunculan pahlawan. Entah kebetulan atau sebuah kesengajaan alam, keluarga korban mati atau keluarga korban hilang menjadi sorotan media. Seakan-akan lupa bahwa publikasi di media tersebut menjadi sebuah drama kemanusiaan yang begitu mengharukan: menjual anggota keluarga untuk sebuah pengakuan.

Lain dengan Rodhi, Yuningtyas Endarwati lebih memilih tema-tema kesunyian yang menghanyutkan. Seperti kata pepatah “air tenang menghanyutkan” begitulah secara tiba-tiba yuningtyas mengajak pembaca untuk menyelami kedalaman hidup, tentu saja masih dari sisi kemanusiaan.

Dalam ruang tawa misalnya, Yuningtyas mengajak untuk berpikir kembali tentang batasan ruang dan waktu. “sekat-sekat ruang tak menjadi batas. Tua muda tak ada beda. Saling tersenyum mengangkasa. Menegaskan pandang anggota keluarga baru. Saling canda tentu sudah menjadi ciri khas. Tak ada yang begitu mengagetkan selain mengakrabkan dan saling menyesuaikan. Saling mengerti dan memahami keadaan.” (halaman 138).

Kedamaian akan lebih bermakna dengan bibir mengulum tawa. Setidaknya tawa menjadi pertanda bahwa seseorang tengah bahagia. Begitulah cerpen-cerpen Yuningtyas dalam kumpulan cerpen ini, menyadarkan dengan santun kalau tawa sesungguhnya juga berarti “kegilaan”.

Kembali pada nilai lebih sebuah kumpulan cerpen, buku ini seakan ingin menyentuh seluruh lapisan dan golongan tanpa membatasi pembaca dalam segmen-segmen tertentu. Setelah membacanya, barangkali, kita akan hadir dalam sebuah pemakaman, di atas pusara tanpa nama, tiba-tiba bibir kita bergetar menyunggingkan senyum tanda bahagia.

M. Haninul Fuada adalah Penggiat “Taman Baca” di Pakis Malang

Jumat, 28 Maret 2008

Menang Melawan Diri Sendiri

Motivasi sangat penting bagi kesuksesan di tempat kerja sekaligus bagi kehidupan pribadi yang memuaskan. Karena itu, belajar cara memperbaiki motivasi takkan sia-sia. Richard Denny menantang siapa saja untuk tidak meraih prestasi lebih besar dengan teknik-teknik dalam buku ini, seperti tips dalam membangun percaya diri. Richard Denny menyebutnya sebagai enam langkah dalam membangun percaya diri: 1) Menjauhkan diri dari alas an; 2) Menggunakan kekuatan gambar; 3) Jngan takut gagal; 4) Penampilan dapat membangun percaya diri; 5) Kumpulkan catatan sukses di masa lampau; 6) Jadilah seorang yang realis positif.


Judul Buku : Motivate to Win
Penulis : Richard Denny
Penerbit : Gramedia, Jakarta
Tahun Terbit : Cetakan I, 2007
Tebal : xi + 211 halaman
Harga : Rp. 40.000,00
Peresensi: M. Haninul Fuad*)


Barangkali benar kata pepatah “musuh terbesar manusia adalah dirinya sendiri”. Sukses menaklukkan diri sendiri berarti sukses pula dalam menjalani kehidupan ini. Gagal dalam memanage diri sendiri berarti pula telah gagal menjalani kehidupan. Bagaimana mungkin seseorang yang gagal dalam memotivasi diri sendiri dapat menjadi pemimpin yang baik bagi orang banyak?

Richard Denny seorang penulis bestseller Internasional, Selling to Win, berbagi trik dalam memotivasi diri sendiri dan orang lain. Adalah benar bahwa kesuksesan merupakan hak setiap orang. Tetapi, sedikit orang yang tahu bahwa sebagian besar orang yang sukses selalu diawali dari kesuksesan-kesuksesan kecil. Dalam bukunya yang berjudul “Motivate to Win” Richard berusaha menyibak tabir kesuksesan.


Motivasi sangat penting bagi kesuksesan di tempat kerja sekaligus bagi kehidupan pribadi yang memuaskan. Karena itu, belajar cara memperbaiki motivasi takkan sia-sia. Richard Denny menantang siapa saja untuk meraih prestasi lebih besar dengan teknik-teknik dalam buku ini, seperti tips dalam membangun percaya diri, Richard Denny menyebutnya sebagai enam langkah dalam membangun percaya diri yaitu: Menjauhkan diri dari alasan; Menggunakan kekuatan gambar; Jngan takut gagal; Penampilan dapat membangun percaya diri; Kumpulkan catatan sukses di masa lampau; Jadilah seorang yang realis positif (halaman 73).


Begitulah gaya Richard Denny memberikan tips-tips untuk membangkitkan motivasi. Sebagian besar isi buku “motivate to win” yang ditulisnya ini berisi tentang langkah-langkah praktis yang dapat langsung kita praktekkan dalam kehidupan kita. Sebagai contoh, dalam bagian tujuh buku ini “Memotivasi Orang” Richard Denny merekomendasikan sembilan langkah untuk kita, yaitu:
Jadilah pendengar yang baik; Bersikaplah bisa dipercaya; Tangkap basah mereka yang melakukan sesuatu dengan benar; Tunjukkan anda percaya pada mereka; Jadilah pembawa berita yang baik; Tetapkan tangtangan-tantangannya; Berhati-hatilah terhadap tantangan negatif; Hindari sikap sarkasme; Tarik orang-orang yang telah meraih sukses (halaman 105)

Dalam hal pengungkapan, buku ini menggunakan bahasa yang terkadang sulit untuk dipahami khususnya oleh para remaja. Padahal, substansi atau isi dari buku ini sangat penting untuk meraih sukses dengan cepat. Pengungkapan dengan bahasa yang lebih sederhana sebenarnya akan menjadikan buku ini lebih enak dibaca dan menghilangkan kesan buku ini hanya untuk segmen pembaca tertentu saja.


Akhirnya, buku ini akan menjadi salah satu sumber inspirasi bagi siapa saja yang membacanya untuk sukses memotivasi diri sendiri dan orang lain. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, buku “Motivate to Win” mengisi ruang kosong dalam pencapaian kesuksesan!

M. Haninul Fuad adalah penggiat Taman Baca, Pustakawan, tinggal di Malang

Senin, 24 Maret 2008

Meretas Cakrawala dengan Membaca

Oleh: M. Haninul Fuad*)
"Buku: senjata yang kukuh dan berdaya hebat untuk melakukan serangan maupun pertahanan terhadap perubahan sosial, termasuk perubahan dalam nilai-nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan"
(Muchtar Lubis)
Tidak ada kata lain yang pantas diucapkan menyikapi minat baca masyarakat Indonesia kecuali: "Memprihatinkan!". Taufiq Ismail yang sekarang gencar melancarkan program gemar membaca di kalangan remaja (anak-anak sekolah) lewat "Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB)" dan "Sastrawan Bicara Mahasiswa Membaca (SBMM)" dalam berbagai kesempatan mengungkap kegundahgulanaan hatinya. Ia mengatakan –yang mungkin membuat sebagian orang bosan- "Kita telah menjadi bangsa yang rabun membaca buku dan lumpuh menulis". Ungkapan ini tentunya punya alasan yang sangat kuat. Dan, benar adanya, persoalan kita adalah minat baca yang rendah.
Sebagai gambaran awal, sastrawan yang jebolan kedokteran hewan Institut Pertanian Bogor (IPB) ini mengungkapkan data yang membuat kita tercengang (bagi yang masih punya peduli). Dalam data itu disebutkan, buku yang ada di perpustakaan sekolah yang wajib di baca oleh siswa dan siswa menulis tentang buku itu di beberapa negara adalah sebagai berikut:
SMA di Singapura (6 judul); Malaysia (6 judul); Thailand Selatan (5 judul); Brunai Darusalam (7 judul); Jepang (15 judul); Kanada (13 judul); USA (32 judul); Jerman (22 judul); Int’l School Swiss (15 judul); Rusia (12 judul); Perancis 20-30 judul); Nederland (30 judul); Indonesia jaman Belanda (25 judul); SMA Indonesia sekarang sampai tahun 2001 (0 judul).
Kenapa 0 judul? Apapun jawabnya, yang jelas angka itu memposisikan Indonesia pada urutan yang paling buncit. Mungkin masyarakat kita belum mengetahui manfaat membaca. Mungkin juga mereka, belum tahu bagaimana membaca yang baik, yang dapat mewujudkan apa yang kita inginkan.
Hernowo, dalam bukunya "Quantum Reading" yang sempat laris manis, memberikan informasi masa depan pembaca. Pada halaman 33 disebutkan bahwa manfaat khusus kegiatan membaca adalah terhindar dari kerusakan jaringan otak di masa tua. Membaca buku dapat menumbuhkan syaraf-syaraf baru di otak. Tapi sayang, meski sudah tahu begitu besar manfaat membaca, sudut-sudut rumah masih dibiarkan kosong tanpa buku. Malahan, diisi dengan barang-barang pajangan dan perabot rumah tangga.
Perpustakaan sekolah yang merupakan sumber pengetahuan memiliki beberapa permasalahan. Selain permasalahan tidak tersedianya buku-buku bermutu, tidak jarang perpustakaan sekolah sepi pengunjung. Kedua hal ini memiliki korelasi yang signifikan. Pengelola perpustakaan sekolah enggan menambah koleksi buku baru lantaran sedikitnya pengunjung. Sedangkan pengunjung menjadi malas mendatangi perpustakaan sekolah yang koleksi bukunya sedikit dan kuno. Bahkan perpustakaan sekolah hampir mirip dengan museum yang memajang benda-benda purbakala.
Rendahnya minat baca masyarakat Indonesia ditinjau dari sudut ekonomi sedikit banyak dapat dimaklumi. Pendapatan perkapita masyarakat terlalu sedikit untuk dibelikan buku. Jangankan untuk beli buku, untuk kebutuhan sehari-hari yang sifatnya primer pun masih kurang. Oleh karenanya, langkah beberapa kepala sekolah untuk melengkapi koleksi perpustakaan sekolah dengan buku-buku bermutu dan fasilitas internet sebagai layanan virtual library patut diacungi jempol.
Peningkatan layanan perpustakaan sekolah akan membawa dampak positif bagi minat baca warga warga sekolah yang mencakup guru, siswa, dan pegawai sekolah. Namun begitu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yang pertama pengunjung setia perpustakaan sekolah masih dari golongan tertentu, belum mencakup seluruh warga sekolah. Yang kedua, sosialisasi program-program perpustakaan sekolah perlu ditingkatkan, mengingat masih banyaknya warga yang belum tahu atau tidak mau tahu dengan program-program tersebut. Pada intinya pihak pengambil keputusan dalam hal ini kepala sekolah mesti menjemput bola. Kalau perlu personil perpustakaan keliling ke kelas-kelas untuk menawarkan program baru dan buku-buku baru agar semua elemen tahu kalau perpustakaan yang dimiliki selalu di up date.
Rendahnya minat baca masyarakat membuat kita jauh tertinggal dengan negara-negara lain. Sementara orang sudah bisa menginjakkan kakinya di bulan, kita masih bermimpi di siang bolong. Orang jepang sudah sejak lama menanam dengan media air (hidroponik) kita malah asik dengan kesuburan tanah kita, yang jika tanah tersebut menjadi gersang kita tidak tahu bagaimana menanganinya.
Selama ini kita masih disibukkan dengan hal-hal yang sifatnya teoritis. Misalnya, kalau tiba-tiba nilai ujian nasional siswa kita tiba-tiba jelek maka kita beramai-ramai menyalahkan sistem. Padahal, sebagai bagian dari sistem pendidikan tentunya kita juga harus ikut bertanggung jawab. Bukan hanya guru dan siswa saja, keterlibatan komite sekolah juga memiliki andil yang cukup besar. Yang menjadi pekerjaan rumah (PR) bersama saat ini adalah bagaimana melaksanakan ide-ide teoritis yang penulis yakin semua memilikinya tersebut menjadi pergerakan yang sifatnya praktis. Taufiq Ismail sudah memulainya, kapan di sekolah kita?
Harapan penulis, dengan ditingkatkannya pelayanan perpustakaan sekolah dapat diimbangi dengan minat membaca yang tinggi. Percuma perpustakaan itu dibangun kalau sekedar sebagai pelengkap infrastruktur sekolah saja. Dengan begitu kata pepatah "gayung telah bersambut". Mari meretas cakrawala tanpa batas ini dengan gemar membaca!
*) M. Haninul Fuad adalah Guru SMA Terbuka Mamba’unnur Gading Bululawang Malang, Penggagas kelompok diskusi "Komunitas Lintas Cakrawala (KLC)" Malang.